Madu, kopi, teh herbal dari kunyit, garam, lada, sirup, tepung, sagu kering, minyak cengkeh, dan poach hijau bertuliskan WALHI berwarna hijau, menarik kaki saya untuk mendekat.
Ragam pangan itu menyambut kedatangan saya di Almond Zucchini Cooking Studio, Jl. Brawijaya VII Pulo Kebayoran Baru Jakarta, Sabtu (29/2/2020).
Pangan-pangan yang dipajang itu berasal dari hutan, dikelola masyarakat setempat dan dibantu dipasarkan oleh LSM Lingkungan Hidup WALHI.
Beberapa tamu mendekati, memegang, memotret, bertanya tentang produk kepada pegiat WALHI yang menjaga stand mini itu, lalu membeli.
Ragam produk dari hutan yang diolah masyarakat |
Kemasannya hitam tapi tulisannya “Goedang Cof’Tea ”. Oh rupanya itu kopi dari Ciwidey
Tamu lain bertanya: ”ini madu hutan dari mana?” atau “Ini kacang atau apa?”
“Nanti saya beli pas selesai acara ya,” kata ibu-ibu berhijab hitam di sebelah saya.
Ah, rupanya pada kepo dengan bahan pangan dari hutan itu. Saya pun demikian. Setelah registrasi di meja panitia, langsung melipir ke meja yang menyajikan produk kemasan pangan hutan itu.
Salah satu kemasan sagu kering bertuliskan “Produk Bebas Konflik” membuat saya penasaran! Apa maksud tulisan itu, sehingga WALHI bela-belain mencantumkannya di kemasan.
Agar saya bisa tidur nyenyak, saya harus mencari tahu jawabannya.
Setelah tanya sana-sini, mana orang yang tepat untuk menjelaskannya, berjumpalah saya dengan Kordinator Kampanye, sekaligus Kordinator Koalisi Golongan Hutan WALHI, Edo Rahman.
Ia memberitahukan kepada saya, kalau “Produk Bebas Konflik” yang dikampanyekan WALHI sampai hari ini adalah produk yang dihasilkan dari wilayah kelola rakyat yang dalam hal ini wilayah hutan yang tak ada permasalahan apa-apa.
Artinya, yang diutamakan adalah bagaimana kearifan lokal masyarakat mengelola kawasan dan wilayah kelola rakyatnya yang tak ada intervensi aktivitas lain.
Nah, produk-produk inilah yang dimaksud WALHI sebagai produk yang bebas dari konflik.
“Konflik yang kami maksud bukan hanya konflik (lahan) antara pemerintah dengan perusahaan atau dengan pihak lain, tapi juga termasuk konflik dengan sesama masyarakat itu sendiri yang mau menguasai wilayah atau lahan mereka,” jelas Edo.
Ia menambahkan, kalau ada konflik dengan sesama masyarakat, artinya ada persoalan wilayah kelola rakyat yang harus mereka selesaikan. Inilah yang kemudian menjadi target WALHI, bagaimana mengidentifikasi wilayah-wilayah yang bebas dari konflik dan produknya apa saja?
“Nah, produk-produk inilah yang kita jadikan icon, bahwa produk-produk seperti ini yang harus diperbanyak di Indonesia, yang harus kita aplikasikan atau sebarkan, karena manfaatnya yang luar biasa yang dirasakan masyarakat”
”Selain ekonomi, mereka juga akan mendapatkan manfaat bahwa hutan mereka bisa memberikan nilai tambah yang begitu besar terhadap kehidupan mereka” kata Edo.
Ah, mengertilah saya, kalau nun jauh di sana, banyak masyarakat yang berada di sekitar hutan yang terancam keberadaan dan wilayahnya akan intevensi atau ‘serangan’ oleh pihak-pihak yang ingin menguasai lahan mereka, demi motif ekonomi.
Nah, sagu kering yang dipajangkan dan dijelaskan oleh Edo, berasal dari Desa Sei Tohor Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Produk yang bebas konflik ini, sudah dipasarkan sampai ke Singapura dan Malaysia.
Sagu kering yang berasal dari hutan ini bisa dikonsumsi langsung atau dibuat sereal, kata Edo. Saya sempat mencicipinya. Rasanya seperti kacang tapi rada keras. Karena keras itulah, makanya bisa dibuat sereal dicampur susu agar lembut dan menyenyangkan.
“Masyarakat yang memproduksi, kami (WALHI) hanya mendampingi dan membantu memasarkannya, termasuk packagingnya. Jadi tidak kemudian bahwa ini menjadi produknya WALHI. Keuntungannya pun akan dikembalikan ke masyarakat” ujarnya.
“Yang paling penting kita titipkan pesan bahwa produk ini adalah bebas konflik.” Pesan Edo.
Setelah
berbincang dengen Edo, saya balik lagi ke meja yang memajang
produk-produk dari hutan yang diolah dan dikemas syantik itu.
Sedang asiknya memandangi dan memotret ragam kemasan itu, salah satu panitia mencolek saya. “Mbak acaranya mau dimulai, silahkan masuk ke dalam (area gathering)”.
Sedang asiknya memandangi dan memotret ragam kemasan itu, salah satu panitia mencolek saya. “Mbak acaranya mau dimulai, silahkan masuk ke dalam (area gathering)”.
Oh, rupanya Forest Cuisine Blogger Ghatering akan segera dimulai.
Saya hadir di sana karena diundang sebagai satu dari 30 finalis Forest Cuisine Blog Competition yang diselenggarakan Blogger Perempuan Network bersama WALHI, pertengahan Februari 2020 lalu.
Saya sudah lama tak mengikuti acara blogger, ada kali ya 3 tahunan vakum di acara blogger ghatering, karena kesibukan. Baru kali ini ikutan lagi, karena tahu pasti acaranya akan menambah pengetahuan saya. Eh, saya malah syurhat. #eh..
****
****
Acara diawali dengan ice breaking bareng MC Fransiska Soraya yang mengajak kami untuk berchit-chat manjah soal nama-nama pangan dari hutan.
“Kalau saya bilang Madu, temen-temen bilang HA. Kalau saya bilang talas, temen-temen jawab: Hi! Rotan; Ho! “ ujarnya penuh semangat.
“Kalau saya bilang Madu, temen-temen bilang HA. Kalau saya bilang talas, temen-temen jawab: Hi! Rotan; Ho! “ ujarnya penuh semangat.
Setelah itu, ia pun mengajukan pertanyaan/ kuis untuk dijawab tamu yang hadir.
“Sebutkan 3 pangan dari hutan! Sebutkan 3 fungsi hutan!” Itulah salah satu pertanyaan yang diajukannya.
“Sebutkan 3 pangan dari hutan! Sebutkan 3 fungsi hutan!” Itulah salah satu pertanyaan yang diajukannya.
Dan foto di bawah ini adalah pemenang kuisnya. Selamat ya!
Sebelum sharing session, kami juga disuguhkan pemutaran Film Pendek besutan WALHI yang berjudul “Kita Masih di Planet Bumi".
Film ini menggambarkan kekhawatiran generasi mendatang yang tidak akan punya tempat lagi jika iklimnya terus dirusak.
Di film tersebut, Chika, seorang anak perempuan mempertanyakan masa depannya. Sebab, lingkungan semakin hancur karena sungai dan laut dipenuhi sampah plastik maupun limbah industri. Kebakaran hutan pun etrjadi di beberapa wilayah, belum lagi polusi udara dan emisi industri, hingga perubahan cuaca ekstrem dan pemanasan global. “Masa depan kami sudah diambang kehancuran.”
Audio dan gambarnya yang mendukung, membuat suasana Forest Cuisine Blogger Gathering senyap, seakan ikut larut dalam cerita film yang berdurasi sekitar 2 menitan itu.
Ibu Kanduang Pelestari Pangan Hutan
dari Sumatera Barat
dari Sumatera Barat
Dari kiri ke kanan: Sri
Hartati, Khalisa Wahid, Tresna Usman Kamaruddin, Windy Iwandi |
Setelah menikmati film pendek soal perlunya menjaga bumi, saatnya 4 narasumber sharing pengetahuan dan pengalaman bersama kami.
Ada Walhi Champion: Sri Hartati dari Sumatera Barat dan Tresna Usman Kamaruddin dari Sulawesi Tenggara. Ada pula Perwakilan Dewan Eksekutif WALHI Khalisa Wahid dan Windy Iwandi seorang food blogger dan selebgram.
Tahu gak, salah satu nara sumber ada yang menyedot perhatian saya, mungkin juga perhatian blogger lainnya.
Sang narasumber sudah saya lihat saat dari sebelum acara dimulai.
Saat memasuki ruangan sharing session, ia terlihat memakai pakaian tradisional Sumatera Barat berwarna biru lengkap dengan Tingkuluak (Tengkuluk) atau penutup kepala yang terbuat dari kain selendang. Ia melintas di depan saya.
Hei, siapa ibu itu? Mengapa ia memakai pakaian adat dan hadir di acara ini?
Oh, rupanya ia adalah Walhi Champion. Namanya Ibu Sri Hartati. Jauh-jauh ia datang dari Desa Kapujan Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat untuk berbagi cerita bersama para blogger dan tamu undangan lainnya.
Walhi Champion adalah orang-orang yang sukses memberikan kontribusi nyata dalam keletarian hutan di daerah asalnya, yang dibina oleh WALHI tentunya.
Nah, Ibu Tati yang aktif di Program Pengelolaan Hutan dan Kesejahteraan Perempuan ini sukses mengembangkan produk olahan kulit buah pala menjadi sirup dan minuman segar.
Kulit pala, biasanya dibuang begitu saja dan dianggap tak berguna, Namun bagi petani perempuan Kelompok Tani Hutan (KTH) Bayang Bungo Indah (BBI) ini, kulit pala disulap menjadi produk yang berkualitas dan menghasilkan pundi-pundi rupiah.
“Pengolahan pala ini jadi ekonomi kreatif dan bisa menambah uang saku,“ ujarnya.
Bahan baku pembuatan sirup pala, ada yang berasal dari hutan dan perkebunan, namun ada pula yang ia beli dari petani pala yang khusus menjual kulitnya.
“Kulit pala yang biasanya dibuang kita beli, satu kilo dihargai Rp2000. Lalu dibawa ke pabrik yang dibuat oleh Walhi, lalu kita sortir,” ceritanya.
Sirup pala racikannya kini menjadi welcome drink di salah satu hotel di Padang. Setiap dua kali sebulan, ia menerima orderan dari hotel tersebut. Biasanya sekali mengirim 4 derigen, isi per derigennya 5 liter.
Ibu Sri Hartati |
Kalau ada orderan lain, ia akan mengerahkan atau memberitahu kepada kapten/ ketua masing-masing kelompok (ada 4 kelompok, masing-masing terdiri 15 orang) untuk mengeksekusinya.
WALHI Sumbar-lah yang mempertemukan mereka dengan pengusaha dan pemerintah. Walhi pun kadang meng-order untuk dijual di kedai Walhi. Walhi juga memberi bibit-bibit pala kepada masyarakat di sana agar menanam di sekitar rumahnya.
“Ke depannya, kami akan lebih menggali dan belajar membuat selai pala,” ujar Ibu Tati.
Di desanya, Ibu Tati dianggap atau disebut sebagai Ibu Kanduang (ibu kandung) atau orang yang dituakan atau dianggap sebagai ibunya para ibu-ibu di sana.
Ia menggerakkan ibu-ibu di desanya untuk belajar mengelola hasil alam atau pangan dari hutan. Sejak 2016 Ibu Tati dan ibu-ibu di desanya dirangkul Walhi Sumbar mengembangkan pala menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dan bermanfaat, hingga bisa membantu perekonomian masyarakat.
Hasil keuntungan dari penjualan pala, akan dibagi rata sama rata setiap lebaran dan disisakan untuk modal lagi.
“Dulu saya gak ngerti apa-apa, sekarang ibu-ibu sudah pada berani berbicara. Biasanyakan ibu-ibu di desa suka diam saja, tapi WALHI sering mengajak berdiskusi ‘Ayo-ibu-ibu keluarkan pendapat, ngomong, kalau salah nanti kita bimbing,’” ujar Sri menirukan ucapan pendamping Walhi Sumbar.
Saat memulai usaha ini, semua anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Bayang Bungo Indah (BBI) membayar iuran per bulan sebagai modal untuk membeli bahan baku (semisal gula dan lain-lain)
Di sanalah tantangannya. Tak mudah untuk merangkul 100 orang anggota kelompok tani Bayang Bungo Indah (BBI) yang diketuainya, agar berjalan bersama satu tujuan untuk maju ke depan.
“Akhirnya ke sini-ke sininya ada yang gak sanggup bayar iuran, karena merasa berat. Kini anggota kelompok tani Bayang Bungo Indah tinggal 65-an,” cerita Bu Tati.
Disela-sela makan siang, Ibu dua anak ini juga menceritakan tentang kearifan lokal di desanya kepada saya. Di desanya, ada lahan yang dikelola warga secara turun temurun. Biasanya lahan tersebut peninggalan nenek moyang atau leluhur. Warga tak boleh menjual lahan atau sawah yang dianggap sebagai harta pusaka, karena sudah jadi adat.
“Kecuali kalau ada anggota keluarga yang sakit, meninggal atau anak mau kuliah namun tidak ada biaya, baru boleh digadaikan tapi tetap tidak boleh dijual,” ujarnya.
Karena menganggap lahan adalah harta pusaka, itu sebab, ketika ditanya soal kondisi hutan di Indonesia yang banyak terbakar, Ibu Tati terlihat begitu emosional. Ia tampak geram melihat pembalakan dan pembakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Meski hutan di kawasan tempatnya tinggal masih terlihat lestari dan subur namun ia tak memungkiri ada juga tangan-tangan nakal yang membalaknya.
“Sedih saya, gak tega saya melihat kondisi hutan sekarang (banyak yang dibakar). Untuk generasi mendatang bagaimana? Tolong hutan jangan dibakar! Karena kalau sudah dibakar gak bagus lagi (fungsinya). Kalau ditempat saya ada yang membakar hutan, akan saya kejar orangnya sampai ke mana-mana,” ujar Ibu Tati yang tak kuasa membendung tangisnya.
Dari kiri ke kenan: Sri Hartati (Tati), Khalsa Wahid (Alin), Tresna Usman Kamaruddin dan Windy Iwand. Gambar: Blogger Perempuan Network |
PERAN PEREMPUAN MENJAGA HUTAN dan SUMBER PANGAN
Apa yang dilakukan Ibu Tati adalah salah satu contoh peran perempuan dalam melestarikan hutan dan mengembangkan pangan.
Menurut Perwakilan Dewan Eksekutif WALHI Khalisa Wahid, yang juga ikut berbagi bersama kami di acara tersebut, selain sumber pangan, hutan juga sumber pengetahuan bagi perempuan, terutama yang terkait dengan pengelolaan alam.
Menurut Perwakilan Dewan Eksekutif WALHI Khalisa Wahid, yang juga ikut berbagi bersama kami di acara tersebut, selain sumber pangan, hutan juga sumber pengetahuan bagi perempuan, terutama yang terkait dengan pengelolaan alam.
“Hutan
juga menjadi sekolahnya perempuan, jadi kalau hutannya rusak, terbakar
atau dibakar, maka akan ada yang hilang: pengetahuan dan kebudayaannya.
Jika itu hilang maka tak ada lagi masyarakat adat yang selama ini
menjaga hutan.” kata perempouan yang akrab dipanggil Alin itu.
Menurut Alin, peran perempuan sangat luar biasa. Perempuan itu penjaga hutan, penyelamat hutan, penyelamat iklim dan penjaga pangan keluarga. Mengapa demikian?
Karena dalam keseharian, perempuan melakukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kalau hutan terjaga, kita yang tinggal di kota juga mendapatkan manfaat dari hutan yang lestari.
Dan hutan yang lestari itu, salah satunya karena peran pengeloaan hutan yang dilakukan perempuan secara berkelanjutan.
Datang ke acara ini, Alin juga membawa tas yang terbuat dari bemban (bahan anyaman). Bahan tas itu dari hutan di Kalimantan. Ini juga mengingatkan saya, kalau selain sumber pangan, hutan juga bisa menghasilkan produk berupa kerajinan, ya seperti tas dari bemban atau rotan ini. Kerajinan tas tersebut dikelola perempuan, berikut packagingnya.
"Ini bisa disupport pemerintah untuk mendukung ekonomi yang dibangun oleh perempuan dari hasil hutan dan produk non kayu, semisal rotan atau bemban" ujarnya.
Menurut Alin, peran perempuan sangat luar biasa. Perempuan itu penjaga hutan, penyelamat hutan, penyelamat iklim dan penjaga pangan keluarga. Mengapa demikian?
Karena dalam keseharian, perempuan melakukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kalau hutan terjaga, kita yang tinggal di kota juga mendapatkan manfaat dari hutan yang lestari.
Dan hutan yang lestari itu, salah satunya karena peran pengeloaan hutan yang dilakukan perempuan secara berkelanjutan.
Datang ke acara ini, Alin juga membawa tas yang terbuat dari bemban (bahan anyaman). Bahan tas itu dari hutan di Kalimantan. Ini juga mengingatkan saya, kalau selain sumber pangan, hutan juga bisa menghasilkan produk berupa kerajinan, ya seperti tas dari bemban atau rotan ini. Kerajinan tas tersebut dikelola perempuan, berikut packagingnya.
"Ini bisa disupport pemerintah untuk mendukung ekonomi yang dibangun oleh perempuan dari hasil hutan dan produk non kayu, semisal rotan atau bemban" ujarnya.
Perwakilan Dewan Eksekutif WALHI Khalisa Wahid (Alin) tengah menjelaskan soal hutan |
Dari penjelasan Alin juga, saya baru tahu kalau yang namanya hutan itu harus terdiri dari beberapa jenis tumbuhan. Kalau hanya terdiri dari jenis tumbuhan saja, meski ia bergerombol, belum bisa disebut hutan.
“Kalau cuma akasia saja, itu bukan hutan, kami menyebutnya kebun kayu. Sawit juga sering dianggap hutan, padahal bukan, karena cuma ada satu jenis tumbuhan saja,” tutur Alin.
Dan hutan pun jangan dipandang hanya seonggok kumpulan pepohonan saja. Karena hutan adalah ruang hidup. Di sana ada satwa, ekosistem, tanaman obat, sumber pangan dan kebudayaan serta ada adat masyarakat yang tinggal di sana.
Artinya akan ada ancaman pangan kalau hutannya rusak atau terbakar, terutama untuk komunitas atau masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Walau kita berada di kota, namun ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka warga kota pun akan merasakan dampak dari sisi kesehatan.
Misalnya nih, asap akibat pembakaran hutan tentu akan terhirup oleh manusia toh. Kalau sudah begitu, kita rentan terkena penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan ), terutama anak bayi dan balita.
Pun pangan hutan, kalau hutannya lestari tentu akan lebih banyak mencukupi. Tapi jangan sampai pula kita berbondong-bondong mengambilnya dari hutan, tapi di wilayah sendiri tidak dikonsumsi. Karena kalau pengambilan bahan pangan dilakukan secara massal tentu bersikso untuk hutan itu sendiri.
Jadi, menurut Alin, akan lebih baik kita menanam sendiri daripada ke hutan untuk mengambil pangan. Menanam, bisa dimulai dari yang kecil, semisal sayuran, cabe, dll.
JAGA HUTAN, JAGA BUMI
Pengalaman menjaga dan melestarikan hutan, juga dilakukan Pegiat Lingkungan Tresna Usman Kamaruddin dari Sulawesi Tenggara. Tresna membantu masyarakat yang hidup di sekitar hutan agar bisa mengelola lahan dengan baik.
Perjuangannya untuk mendapatkan izin dari pemerintah sudah berjalan selama 4 tahun ini. Saat ini dalam tahap pengukuran lahan yang dilakukan para pemegang izin.
“Kenapa saya ingin berjuang di sini, karena saya ingin melihat kampung halaman sendiri, bahwa hutan kami banyak sekali manfaatnya. Dan saya juga melihat banyak pemuda-pemuda yang mempunyai semangat atau bangga untuk menjadi petani agar bisa menunjang masa depan mereka, tapi mereka tidak punya lahan,” cerita Tresna.
Tresna memperjuangkan hal itu, mumpung ada angin dari pemerintah. Ya, era Presiden Jokowi, ada program Sertifikasi lahan sebagai salah satu program Reforma Agraria.
Melalui WALHI, Tresna dan rekan-rekannya memperjuangkannya agar bisa memanfaatkan hutan sebaik-baiknya terutama untuk hutan yang ada di Kolaka, Sulawesi Tenggara, tempat asalnya.
Tresna (baju biru memegang mic) Gambar: Blogger Perempuan Network |
Kenapa perempuan ini begitu terpanggil memperjuangkannya?
Rupanya, Tresna juga mempunyai kakek seorang petani. Dari kakeknya-lah ia belajar dan melihat bagaimana kehidupan petani. Selain itu, ia juga menyukai pertanian dan alam. Tresna melihat banyak sekali yang bisa dikelola di hutan. Salah satunya adalah bahan pangan atau tanam-tanaman yang bisa membantu memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat.
Sementara itu, Windy Iwandi seorang Food Blogger dan juga selebgram mengatakan, meski ia tinggal di kota dan masih muda, namun ia juga peduli dengan hutan yang ada di desa. Ia juga ikut terenyuh ketika Ibu Tati menahan tangis saat mengungkapkan kesedihannya melihat kondisi hutan Indonesia.
Ternyata Windi juga suka makan sagu lho, karena sagu bisa diolah jadi papeda, pempek dan makanan lainnya.
”Segala sesuatu yang diproduksi dari hutan itu bagus banget buat kesehatan, apalagi jika dinikmati langsung dari hutan, rasanya lebih fresh, seperti buah-buahan,” ujarnya antusias.
Pun halnya dengan pemakaian kertas yang bahan bakunya berasal dari pohon. Untunglah di kantor saya, sudah lama menerapkan prinsip: kalau ngeprint kudu gunakan kertas bolak balik, hehehe.
Wah, banyak ya ilmunya kalau ngomongin soal pangan hutan dan dampaknya jika hutan menjadi rusak atau tergerus.
Nah, sambil kami mendengar sharing dan diskusi, kami juga berpacu untuk update medsos mengabarkan tentang acara dan informasi dari sharing ini. Klak-klik foto lalu upload di instagram dan instastory, karena akan dilombakan juga.
Windy Iwandi (Memegang mic) Gambar: Blogger Perempuan Network |
RIMBA TERAKHIR
WALHI juga mengajak kami menyelamatkan Rimba Terakhir atau hutan. Disebut "Rimba Terakhir" karena hutan adalah ujung tombak atau penyangga kehidupan dari sumber pangan, habitat satwa, dan kearifan lokal. Masifnya pembakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, membuat hutan makin tergerus dan terancam hilang.
Untuk itu, bukan cuma masyarakat yang hidup di dekat hutan yang harus menjaga rimba terakhir, tapi kita warga kota bisa berkontribusi menjaga hutan.
Untuk itu, bukan cuma masyarakat yang hidup di dekat hutan yang harus menjaga rimba terakhir, tapi kita warga kota bisa berkontribusi menjaga hutan.
Karena
kalau hutan rusak di hulu itu dampaknya akan sampai ke masyarakat kota.
Banjir, longsor, kebakaran itulah yang dikatakan WALHI sebagai bencana
ekologis.
“Kalau
sudah begitu dampaknya semua akan dirasakan warga desa dan kota. Jadi
bencana ekologis itu bencana yang timbul akibat salah urus mengelola
alam. Itu kenapa kami percaya kalau dikelola dan dimanfaatkan oleh
komunitas, pasti akan lestari. Karena komunitas punya kearifan lokal,
punya pengetahuan lokal yang terkait dengan identitas dan nilai-nilai
kehidupan,” jelas Alin.
Lalu, apa yang bisa dilakukan sebagai warga kota untuk menjaga hutan?
Alin
menyarankan, bijak dengan apa yang kita konsumsi. Jadilah konsumen yang
kritis yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Lipstik
misalnya. Pemerah bibir perempuan yang sering saya pakai sehari-hari
ini, bahan bakunya berasal dari sawit dan minyak, setidaknya kita bijak
menggunakan lipstik.
Pun halnya dengan pemakaian kertas yang bahan bakunya berasal dari pohon. Untunglah di kantor saya, sudah lama menerapkan prinsip: kalau ngeprint kudu gunakan kertas bolak balik, hehehe.
Lalu,
cara selanjutnya sebagai warga kota untuk menjaga hutan adalah konsumi
apa yang kita butuhkan dan harus mengontrol apa yang kita butuhkan.
“Mengkonsumsilah
apa yang diproduksi oleh petaninya atau mengkonsumsi yang diproduksi
oleh komunitas-komunitas tani,” saran Alin.
Karena
itu, menurut Alin, peran pemerintah jadi penting untuk setidaknya
mendukung petani-petani agar bisa memproduksi dan kemudian mengkonsumsi.
“Gak perlu impor karena kita kaya dengan sumber pangan,” tegas Alin.
Sebelum akhir acara, diumumkan pemenangnya.
Dan ini dia orang blogger yang beruntung itu! Selamat ya!
MARI MASAK-MASAK PANGAN HUTAN (Forest Cuisine)
Kalau sudah ngomongin hutan, bumi dan pangan, gak komplit rasanya kalau tak memasak dan mencicipi pangan dari hutan.
Dan yuhuuuuu, kami pun para blogger diajak masak bareng Chef William Gozali. Tempat acara ini rupanya ada area khusus masaknya juga lho. Ruangannya luas.
Saat masuk, ada meja lebar yang di atasnya sudah tersedia apron (celemek) dan bahan-bahan untuk diolah.
Saat masuk, ada meja lebar yang di atasnya sudah tersedia apron (celemek) dan bahan-bahan untuk diolah.
Resep yang kami olah namanya: Fettucini Mushroom Ragu
Bahannya:
Daun bawang, daun kucai, jamur kancing dan jamur shitake, bawang putih, pasta/fettucini, butter, krim, keju parut, minyak, garam, merica dan bumbu pelengkap lainnya.
Daun bawang, daun kucai, jamur kancing dan jamur shitake, bawang putih, pasta/fettucini, butter, krim, keju parut, minyak, garam, merica dan bumbu pelengkap lainnya.
Salah satu bahan pangan dari hutan dalam resep ini adalah jamur kancing dan jamur shitake tentunya. Selain itu, banyak juga ragam jenis jamur-jamur lainnya yang bisa ditemukan di hutan, seperti jamur tiram, jamur kuping dan lain-lain.
Karena ini digunakan untuk membuat fettucini, tentu yang lebih cocok adalah jamur kancing dan shitake.
Taraaaa, ini bahan-bahannya |
Chef William memberikan instruksi |
Suasana makin riuh saat pembagian kelompok dan apron. Peserta yang berjumlah sekitar 40-an (30 blogger plus tamu lainnya) dibagi menjadi 5 kelompok. Yang gak kenal jadi kenal. Yang sudah kenal makin ikrib, hehehe. Saya kebagian masuk kelompok 5.
Masing-masing peserta berbagi tugas. Ada yang memotong/mengiris bahan, ada yang memasak dan ada yang bertugas tim hore dan foto-foto. Nah, saya termasuk golongan yang terakhir, hihihihi
Masak-masak seru ini dipandu Chef William.
“Cincang dulu daun kucai dan daun bawangnya” kata Chef.
“Yang bertugas memasak silahkan siap-siap di posisinya (di depan kompor),” disambung MC-nya.
“Setelah itu cincang bawang putih dan iris jamur seiklasnya, gak usah rapi karena ketika dimasak jamur akan mengerucut,” instruksi Chef William.
Peserta pun langsung mengikuti.
Daun kucai, daun bawang dan bawang putih pun dieksekusi. Saran Chef William, saat menumis kucai dan daun bawang jangan diaduk-aduk terus, karena matangnya justru akan lama.
Sementara itu kompor sudah dinyalakan dan siap merebus pasta terlebih dulu. Saat merebus pastanya, kata Chef William, harus sering diaduk-diaduk agar lembut.
Daun kucai, daun bawang dan bawang putih pun dieksekusi. Saran Chef William, saat menumis kucai dan daun bawang jangan diaduk-aduk terus, karena matangnya justru akan lama.
Sementara itu kompor sudah dinyalakan dan siap merebus pasta terlebih dulu. Saat merebus pastanya, kata Chef William, harus sering diaduk-diaduk agar lembut.
Yuk, iris-iris daun bawang dan kucai |
Chef William pun tentu ikut memasak juga di tempatnya sendiri.
Multi tasking deh, mulut ngasih instruksi, tangannya memasak atau pegang pisau.
Sesekali beliau mendekati peserta memasak untuk memantau dan memberi saran.
Chef William Gozali |
Selanjutnya daun kucai dan daun bawang ditumis sampe terlihat kecoklatan sambil diberi garam.
Setelah daun kucai dan daun bawang masak, angkat/pisahkan. Lalu panaskan butter sampai cair dan tumis jamur. Setelah jamur matang, masukkan bawang putih dan tumisan daun bawang dan daun kucai.
Lalu, tuangkan krem dan keju parut (sisakan sedikit keju parutnya). Aduk lagi dong sampai mengental. Terakhir, masukkan pasta yang sudah direbus di tempat terpisah. Tambahkan bumbu jika dirasa kurang, seperti garam, lada dll.
Aduk-aduk deh..
Lalu, tuangkan krem dan keju parut (sisakan sedikit keju parutnya). Aduk lagi dong sampai mengental. Terakhir, masukkan pasta yang sudah direbus di tempat terpisah. Tambahkan bumbu jika dirasa kurang, seperti garam, lada dll.
Tak lama kemudian, Fettucini Mushroom Ragu siap disajikan, jangan lupa taburkan sisa keju parut dan daun kucai di atas hidangan.
Ehmmm yummy.....
Ehmmm yummy.....
Tim masak.....tumis-tumis... |
Yuhuu, yang cowok juga ikutan masak... |
Ini tim saya, kelompok 5....ye..ye..ye |
Meski kelompok kami tidak berhasil merebut hati Chef William untuk jadi pemenang, namun tetap saja kami merasa masakan kelompok kami enak. Buktinya, itu masakan sampai habis kami lumat di akhir sesi, hehehe...
Selama proses masak-memasak, suasana riuh. Karena didominasi perempuan, ya tahu dong ya, bukan emak-emak namanya kalau gak bikin heboh, hahaha. Saya pun rempong jeprat sana-sini dan melihat keseruan masak kelompok yang lain. Oh ya, apron yang kami pakai, ternyata boleh dibawa pulang lho.. Yuhuuu, bakal jadi semangat deh masak di rumah dengan apron baru, hehehhe
Ah, betapa serunya cooking demo bersama Chef William Gozali dengan bahan pangan hutan ini. Saya sempat mencicipi juga lho masakannya Chef William. Asik deh rasanya....
Ini dia Fettucini Mushroom Ragu ala Chef William |
Bayangkan, si jamur yang berasal dari hutan, bisa mengumpulkan orang banyak dan penasaran ingin mencicipinya serta menambah warna keseruan acara.
Itu baru jamur, belum lagi pangan-pangan hutan lainnya yang jumlahnya ratusan itu. Kalaulah pangan-pangan hutan itu dikumpulkan jadi satu, ada berapa ribu resep atau hidangan makan yang bisa disajikan dalam satu pertemuan? Tak hanya menyumbang pasokan bahan makanan, namun juga menambah variasi kelezatan masakan.
Nah, kalau Anda masih ingin merasakan nikmatnya masakan dari pangan hutan, maka tolong, jangan kau bakar hutan, jika tak ingin bahan pangan musnah!
Serunya masak masakan pangan hutan Gambar: Blogger Perempuan Network |
Foto bareng usai Forest Cuisine Blogger Gathering Gambar: Blogger Perempuan Network |
Wah, selamat ya terpilih jadi finalis... Penasaran sama produk-produk walhi, bisa dibeli online enggak ya?
ReplyDeleteHai Mbak Nathalia, menurut teman dari WALHI, kalau secara online di platform umum belum ada, tapi WALHI lagi menyiapkan platform khusus untuk produk yang akan mereka jual.
Deleteapron boleh dibawa pulang yeaay!.. kenang-kenangan dari walhi ya.., terus biar ingat terus ..kalo makan kudu masak dari sumber alam/hutan kita...
ReplyDeleteiya..dapat apron baru.... baru juga ku tahu kalau banyak sekali sumber pangan yang berasal dari hutan yang selama ini kita santap..Semoga hutan Indonesia lestari..
Deleteheloww partner satu tim di kelompok 5 :D
ReplyDeleteseru ya acaranya. seneng bisa hadir dan nambah wawasan terntang pelestarian hutan sebagai sumber pangan
Helo mbak Inna.....Iya, Dobel seru ya mbak acaranya. Seru wawasannya dan seru demo masaknya. Seperti masak sambil bermain, atau bermain sambil masak? Hehhehe
DeleteFoto-foto produk olahan dari hutan itu menggiurkan ya. Melihatnya jadi pengen punya semuanya.
ReplyDeleteBaru tahu saya istilah “Produk Bebas Konflik”. Rupanya ini hal yang patut menjadi perhatian juga ya dalam pengelolaan hasil hutan kita.
Iya mbak, tulisan “Produk Bebas Konflik” bikin kepo untuk menguliknya... Semoga hutan dan masyarakat adat tetap terlindungi dari konflik, agar hutan dan lahan kita lestari....
DeleteItu Sagu kering bisa jadi sereal ? Wah terobosan baru nih pengganti sereal dari gandum. Coba di produksi bebas
ReplyDeleteyoi mbak, begitu kalau kata teman/ narsum dari WALHI. Mau mencoba sereal dari sagu kering? hehehe
DeleteProduk bebas konflik, baruu tauuu ada frasa khusus untuk produk2 semacam ini. Lipstik..saya memang nggak terlalu banyak pakai. Tapi....menggoreng dengan minyak sawit masih saya lakukan :D
ReplyDeleteKu penasaran sama sagu keringnya nih. Terus mikir juga apakah selama ini produk yang aku makan atau gunakan sudah bebas konflik ga, ya? Semoga banyak Bu Tati Bu Tati lainnya yang peduli sama keberadaan hutan, ya. Aku kalau mau maen ku Hutan agak jauh, meski masih di Bandung juga. Jadi kangen pengen ke sana lagi deh
ReplyDeleteMba selamat yah terpilih menjadi 30 finalis smeoga lanjut tahapan berikutnya nih soalnya ceritanya detail juga dan aku juga baru tahu produk2 WALHI jadi pengen beli ini sudah bisa dibeli di ecomerce kan mba?
ReplyDeleteWoah acaranya padat bergizi saya jadi tahu kalau Walhi punya program memberdayakan masyarakat terutama kaum perempuan yang memang keseharian dekat dengan lingkungan. Aku penasaran dengan produk yang dibantu distribusi penjualannya oleh Walhi, bisa dibeli online ngak mbak.
ReplyDeleteSetelah 3 tahun vacum tidak ikutan acara blogger. Sekalinya ikut langsung dah, dapat acara yang sangat bermanfaat. Sangat salut dengan Ibu Hartati yang terus berjuang untuk menjaga lahan dan memproduksi sirup pala. Bahkan beliau bakalan mengejar siapa saja yang membakar hutan. Mantap jiwa, Ibu.
ReplyDeleteProduk Bebas Konflik, keren banget ini filosofinya.
ReplyDeleteAcara semacam ini kudu sering diadakan, untuk jadi friendly reminder buat kita semua, agar kian sayang dengan hutan dan semua sumber daya alamnya.
Aku baru tahu ada sagu kering bentuknya seperti itu. Aku kira jagung. Hehhee. Salut selalu dengan upaya Walhi :)
ReplyDeleteMasya Allah seru ya acaranya. Jadi emang perlu banget kita menjaga hutan jangan sampai hasil hutan jadi hilang ya. Tentunya mengajak anak sejak dini untuk menjaga kelestarian hutan.
ReplyDeleteMasya Allah keren banget ya acaranya. Jadi memupuk pengetahuan tentang pangan yang dihasilkan oleh hutan.
ReplyDeleteAku baca dari awal samapi akhir, merasakan juga kesedihan Ibu Tati dengan kejadian pembakaran lahan hutan. Dan untuk produk bebas konflik itu, aku baru tahu juga loh mbak. Ternyata ada cerita di balik penamaan produk tersebut. Keren ya WALHI, semoga hutan kita tetap terjaga oleh para pelestari hutan sepereti keempat perempuan hebat tersebut
ReplyDeleteDuh aduh kalau inget orang yang bakar hutan itu kok ya aku sedih banget ya padahal ada banyak manfaat hutan termasuk sumber pangan ya
ReplyDeleteKebakaran hutan itu memang harus terus disuarakan ya mbak. Karena pemerintah paling punya kuasa nih untuk bikin kebijakan yang pro lingkungan atau tidak.
ReplyDeletepengetahuanku tentang hutan Indonesia minim banget. Ku tertarik deh dengan produk bebas konflik. Semoga bisa makin banyak diproduksi.
ReplyDeleteEvent yang seru banget deh. Pastinya nambah wawasan dan insight baru tentang hutan. JAdi kerasa manfaat hutan dalam bidang pangannya ya. Semoga kita semua selalu ingat itu. Hutan merupakan sumber pangan yang paling kaya.
ReplyDeleteWah acara kyk gini membuat masyarakat jadi paham bahwa banyak hasil hutan lainnya yang bis akita ambil dan olah serta manfaatkan ya mbak? Jadi gak melulu tergantung pada kayu2 yg ditebang atau mirisnya lagi buka lahan pakai bakar hutan hiks
ReplyDeleteBaca ini jadi tau banyak hasil hutan yang bisa dimakan
ReplyDeleteKlo mau produk bebas konflik itu dimana ya?
Penasaran sama sagu kering dan garamnya
Masakannya mantaaap..semoga kita semua makin sadar ya untuk jaga lingkungan...
ReplyDeleteWahhh yang masak juga ada cowoknya nih hihi, papa papa perkasa nih heheh :D
ReplyDeleteDari hutan yg dikelola dengan baik dan tanpa konflik, manfaatnya juga sangat luas rupanya, ragam produknya juga banyak. Perlu banyak promo, pendekatan yg baik dengan blogger yang mulai terpinggirkan
ReplyDelete"I appreciate the competitive prices at plumbers near me emergency Supply. High-quality products at affordable rates keep me coming back."
ReplyDeleteBeauty of beauty of joseon glow serum is a radiant potion that beautifully captures the essence of traditional Korean beauty rituals
ReplyDeletegold plating in uae and provides various purity deposits in soft and hard gold formulations.
ReplyDeleteheavy duty laptop is a robust and durable computing device designed to withstand demanding usage conditions.
ReplyDeleteSerenity Spa On-The-Go takes the spa experience directly to your hotel room massage sanctuary. Our skilled therapists specialize in creating a tranquil atmosphere, offering a range of massages to melt away stress and leave you feeling refreshed, whether you're on a business trip or a leisurely getaway.
ReplyDelete