Showing posts with label Kisah Inspiratif. Show all posts

Duet “Pesulap” Sampah Menjadi Rupiah


Salah satu gang yang saya lewati awal Desember tadi, mampu menghentikan langkah kaki jenjang ini di tengah teriknya matahari. Hijaunya syantik dan manjah. Kiri kanan dindingnya dipenuhi tetanaman. Ada sayur mayur hingga tanaman hias. Tong warna warni berjejer di sana, menambah semarak keindahan.

Ah, begini rasanya masuk ke Kampung Pro Iklim. Meski tata ruang kampung ini gang per gang dan padat, namun sejauh mata memandang penuh penghijauan.

Daun-daun kangkung yang baru tumbuh melambai-lambai di tembok gang menyambut tamu yang datang. Di depan sayuran kangkung, ada baju-baju yang dijemur, juga warga yang berlalu-lalang dan beraktivitas seperti biasa.

Ini dia gang itu!
Kalau saja tak ada orang yang menggerakkan penghijauan di sini, tentu kampung ini tak akan memanjakan mata saya dan menarik kaki saya untuk bertandang ke sana.

Kalaulah jua tak ada cerita soal sampah yang bisa menghasilkan uang, soal kampung yang penuh penghijauan dan tentang kampung yang mau menampung sampah lewat bank sampah, hingga bisa mengubah kebiasaan warga, saya mungkin tak akan bertemu dengan Pak Sutarno.

Bagaimana sampah bisa disulap jadi uang dan seperti apa bibit-bibit halus tanaman bisa jadi pohon duit, Pak Sutarno jagonya. Ia paham betul bagaimana mengolah sampah dan bertanam. Sampah yang biasanya dibuang begitu saja dan sering dipandang dengan tatapan nanar nan menjijikkan itu, ditangannya menjadi “emas”dan menyokong kehidupan tetanaman dan manusia

Sampah sayur busuk, ia olah menjadi kompos cair lalu di jual, selain untuk dipakai sendiri. Anyirnya bau kompos cair akibat pembusukan sampah organik, ia siasati dengan tong-tong komposter dengan konstruksi racikannya yang bisa menghilangkan bau. Hasil tong racikannya pun dijual dan mendatangkan rupiah.

Air bekas limbah penyejuk udara atau AC ia tampung dan menjadi kolam ikan lele dan ikan patin. Ia dan keluarga pun tak perlu lagi membeli lele di pasar, cukup mengambil dari kolam lele buatannya. Hemat uang belanja, hemat air, hemat ongkos buat beli bahan bakar, dan mengurangi polusi.

Apalagi?

Aha, botol-botol plastik bekas air kemasan dan bekas plastik minyak dan deterjen ia kumpulkan dan dipakai lagi untuk wadah bibit-bibit tanaman. Jika sudah berbuah, tinggal petik saja atau disayur untuk lauk. Tanaman-tanaman itu selain untuk dikonsumsi sendiri, ada yang dipakai untuk menghiasi kampung dan rumahnya, ada pula yang kirimkan kepada sekolah-sekolah yang memesan. Pundi-pundi rupiah pun ia terima.

Berkatnya, tak hanya sekolah dan kampungnya yang menjadi hijau, namun sampah-sampah organik pun jadi berkurang, dan sampah non organik semisal plastik dan kaleng pun jadi berguna.

Bekas wadah minyak dijadikan media tanam

Pak Tarno

Pak Tarno, panggilan akrabnya, mulai menekuni dunia sampah dan penghijauan sejak 2008. Demi kecintaannya pada lingkungan ia rela pensiun dini dari profesinya sebagai salah satu guru SD di Jakarta. Ia lebih memilih bergelut dengan lingkungan dan sampah yang menjadikannya panutan banyak orang.

Namun, jangan salah, walau kini ia berteman dengan ’sampah’, jiwa gurunya masih menggelora. Buktinya, ia sering menjadi guru tamu di beberapa sekolah dan instansi atau kelompok masyarakat yang mengundangnya. Ia diminta mengajarkan banyak hal tentang bagaimana mengolah sampah dan bertanam.

“Sampai sekarang saya masih jadi guru! Saya guru TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi (seperti Binus dan UI) serta Karang Taruna. Tapi jadi guru tamu. Hehehe. Kalau saya masih bekerja jadi guru, saya gak mungkin sekarang mengajar mahasiswa,” ujarnya diselingi tawa.

Pak Tarno

RT 09 RW 01 Sunter Jaya tempat Pak Tarno tinggal adalah Kampung Pro Iklim Tingkat Madya pada 2015. Karena itu, kampung ini menjadi kampung percontohan bagi kampung-kampung lain di Jakarta. Sementara di tingkat Nasional, kampung ini mendapat predikat juara ketiga Kampung Pro Iklim pada 2016.

Disebut Kampung Pro Iklim karena kampung ini pro dengan iklim. Misalnya, saat musim kemarau suasananya tetap sejuk karena banyak penghijauan. Lalu, ada banyak tanaman obat keluarga (Toga), tanaman sayur maupun tanaman hias yang ditanam warga di pekarangan rumahnya. Ada pohon salak, ada kangkung, pokcay, lidah buaya dan beberapa tetanaman sayur lainnya. Semua itu demi ketahanan pangan.

Selain itu, warga juga memanfaatkan air bekas pakai atau air hujan yang ditampung untuk menyiram tanaman atau mencuci mobil. Jadi hemat air bersih deh.

Dorongan kepada warga agar berpartisipasi dalam pengurangan sampah juga terus digalakkan. Disiasati dengan daur ulang atau dipakai kembali. Semua itu dilakukan untuk meminimalisir dampak perubahan iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi wilayahnya.

Nah, kampung ini sudah melakukan itu.

Pak Tarno, adalah salah satu penggeraknya, khususnya di RT 09. Ia menerapkan konsep “Mengolah Sampah tanpa Lahan, Bertanam tanpa Lahan”.

Pak Tarno memasukkan sampah sayur di tong komposter

Maka itu, jangan kaget ketika bertandang ke rumahnya, ada banyak tetanaman yang menghiasi dinding samping rumahnya. Gang yang saya sebut di awal, yang mampu menghentikan kaki saya, adalah gang yang berada persis di samping rumah Pak Tarno. Dialah yang membuat dinding gang yang menyatu dengan rumahnya itu menjadi hijau dan penuh warna.

Tetanaman itu ia olah dalam wadah bekas kemasan plastik dan bekas botol plastik. Ia suburkan dengan pupuk kompos buatannya. Jadilah ia penghias kegersangan dinding dan menutupi cat-cat yang mengelupas. Kampung pun sejuk. Warga yang melihatnya jadi adem, jepretan kamera pun menjadi instagramable. Ah, sesuatu sekali.

Bekas plastik  minyak kemasan yang dijadikan media tanam
Gang di samping rumah Pak Tarno

“Saya orang kampung, melihat di gang ada orang yang buang sampah dan ada tumpukan sampah, gak nyamanlah. Nah, pada 2008 kami mulai membersihkan got dan mengembalikan sampah bekas kemasan ke pabriknya, walau saat itu belum trend,” cerita Pak Tarno mengingat awal ia mulai bergerak menghijaukan kampung.

Berkat kegigihannya mengajak dan mengajarkan warga untuk bertanam dan mengolah sampah, warga kampung pun tertular kebiasaannya. Penghijauan pun mulai bergeliat. Satu persatu para tetangga menanam tanaman di media pot. Karena keterbatasan lahan, tanaman itu di letakkan di depan rumah atau di dinding rumah. Kini ragam tetanaman ada di mana-mana, menghiasi setiap gang.

Untuk menyuburkan tanaman, warga boleh mengambil pupuk kompos cair di tong komposter yang disediakan Pak Tarno di gang tadi. Saya pikir tong itu isinya air hujan, rupanya isinya adalah sampah sayuran busuk, yang setelah melalui proses, ia menjadi pupuk kompos cair. Tong komposter namanya.

Saya kaget ketika tutup tong itu dibuka Pak Tarno, aw, isinya sampah sayur semua. Ia juga menunjukkan air lindi-nya yang sudah jadi pupuk kompos. 

Siapa saja boleh memasukkan sampah organik atau sayuran di tong itu. Siapa pun silakan saja mengambil pupuk cair dari tong komposter Pak Tarno untuk menyuburkan tanamannya. Karena toh, sayur-sayur busuk itu juga ada ‘sumbangan’ dari warga.

Makin banyak sampah organik, makin bertambah keberkahannya. Makin banyak pula yang merasakan manfaatnya.

Tong Komposter di samping rumah Pak Tarno

Ya, memilah sampah dari rumah, memang menjadi harapan Pak Tarno kepada tetangga-tetangganya. Karena menurutnya, pengolahan sampah itu idealnya dimulai dari rumah atau sumbernya. Misalnya setiap keluarga bisa memilah sampah organik dan non organik, sebelum akhirinya dibuang atau diolah menjadi kompos atau mungkin didaur ulang dan recycle.

Tak hanya kepada orang dewasa, Pak Tarno juga mengajarkan bagaimana cara memilah sampah, pemanfaatan daur ulang, dan pembibitan kepada anak-anak kecil di kampungnya. Dengan harapan, kelak ketika mereka dewasa sudah terbiasa dan mandiri memanfaatkan sampah dan akhirnya sampah rumah tangga pun berkurang.

“Arah kami adalah kemandirian (warga bisa mengolah sampahnya sendiri), selain itu ada penghijauan di lingkungan. Kalau jam 7 pagi lewat sini, jalanan bersih semua. Setiap RT juga punya tim penghijauan masing-masing dan jika ada masalah atau ide dirembukkan bersama pada pertemuan RT,” ujarnya.

Mengakali lahan terbatas, menaruh tanaman bisa di dinding

Virus cinta lingkungan dan sampah yang ditularkannya, tak hanya sampai di RW 01 Sunter Jaya saja, tapi juga menular hingga ke Timor Leste. Pada 2017 lalu ada mahasiswa dari Timor Leste yang dengan semangatnya berguru mengelola sampah dan penghijauan dengan Pak Tarno.

Ryan Mahli. Satu bulan penuh ia menggali ilmu dan menginap di rumah  Pak Tarno. Kemana pun sang guru pergi, ikut. Gurunya ke Bank Sampah, ikut. Bertanam, mengolah sampah, membuat pupuk kompos, juga ‘dikintilin’. Pun jika gurunya mengisi acara seminar dan kegiatan lainnya, semuanya diikuti.

Setelah 'lulus' belajar dari Pak Tarno, Ryan pun menularkannya kepada teman-teman kampusnya. Ia membuat satu grup di kampusnya dan membawa teman-temannya itu ke rumah Pak Tarno untuk sama-sama belajar.

"Tentu semangat cinta lingkungan telah jadi bagian dari hidup saya, karena saya senang bertanam. Pak Tarno orangnya luar biasa, terbuka dan  rendah hati banget meski banyak pengetahuan," ujar Ryan saat saya mencoleknya di Facebook, setelah sebelumnya gagal menghubunginya karena nomor ponselnya sudah berganti.

Kini Ryan berada di Mexico, melanjutkan studinya dan membawa ilmu penghijauan dari Pak Tarno. Ah, betapa ilmu sang guru sudah sampai hingga ke Benua Amerika.

“Saya hanya ingin menularkan bahwa dengan mengolah sampah, peduli lingkungan, penghijauan, daur ulang, itu berdampak positif untuk pengurangan sampah di sumbernya. Sampai kapan saya menularkannya? Ya dibutuhkan gak dibutuhkan saya melakukannya. Kepentingannya bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diri saya sendiri,” cetus Pak Tarno.

Hijaunya Kampung Sunter Jaya RW 01
Dengan melihat hijaunya kampung ini, mungkin tak menyangka kalau pada 1997 lalu, banjir besar pernah menerjangnya. Masih ingatkah dulu, beritanya begitu santer menghiasi halaman media cetak dan berita TV kalau beberapa kawasan Jakarta terkepung banjir, salah satunya ya Kampung Sunter Jaya ini. Rumah Pak Tarno pun ikut terkena banjir kala itu.

Sebabnya, Danau Sunter yang berdekatan dengan kampung ini meluap dan tersumbatnya aliran got. Bahkan pada 2007 hingga 2010 banjir pun masih “menyapa” kampung ini. Namun, setelah tahun itu, banjir pun malas untuk berkunjung lagi ke sana, karena kampung ini sudah hijau dan aliran air pun lancar.

Namun Pak Tarno tak memungkiri, enyahnya banjir itu bukan semata karena kesadaran warga yang sudah peduli pada lingkungan dan menampung air hujan, namun juga ada peran pemerintah. Misalnya, irigasi dibetulkan dan Danau Sunter diperbaiki/ dikeruk.

Perkebunan bioponic Pak Tarno


Dari Sampah jadi Rupiah

Selain menghijaukan kampung dan rumahnya dengan bertanam, Pak Tarno juga membuat tong komposter untuk mengolah pupuk kompos cair dan juga memproduksi pot komposter biopori.

Halaman rumahnya ia jadikan tempat pembuatan tong komposter. Pak Tarno tidak punya karyawan, namun ada yang mensupport atau bekerjasama dengannya untuk menyumbangkan tenaga agar tong komposter bisa diproduksi. Rekan-rekan yang menolongnya, Ia sebut sebagai Mitra. Ada yang dari Pesanggrahan, Solo, Yogya, Banten dan lain-lain.

“Jadi, ketika ada orderan dari pembeli, baru bekerja. Kalau ada (mitra) yang mau bergabung silakan, kita gak bayar mitra, tapi kita mensupport,” jelasnya.

Ia menjelaskan, misal darinya mematok harga jual Rp150.000, nah para mitra yang bekerja sama boleh menjualnya lebih dari harga itu, bahkan bisa dua kali lipat. Kenapa? Salah satunya karena biaya oprasional atau untuk menutupi biaya transportasi.

Ada puluhan tong-tong komposter berjejer di halaman rumahnya. Tong-tong itulah yang dibuat bersama mitranya. Tong komposter racikannya itu dijual secara online dengan harga sekitar Rp300.000-Rp500.000. Namun, jika membelinya langsung dengan Pak Tarno, ia hanya melepasnya dengan harga Rp150.000. Pembelinya, tak hanya dari Jakarta, tapi juga dari Palembang, Bali, Pontianak, NTT, Lampung dll.

Rumah Pak Tarno yang juga sebagai tempat memproduksi tong komposter dan Sekolah Sampah

Itulah salah satu berkah yang didapat dari sampah. Berawal dari kegemarannya yang berteman dengan sampah, kini ia kembangkan hobinya menjadi wirausaha yang tak hanya bikin dompetnya tebal tapi juga menciptakan lapangan kerja dan menggalakkan hidup ramah lingkungan.

Gara-gara sampah, Pak Tarno bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi dan memiliki tiga buah mobil.

“Komposter, 20 tahun ke depan pun gak akan mati sebelum ditemukan teknologi canggih untuk menjadi sarana menciptakan kebersihan,” ucapnya.

Bukan hanya tong komposter saja lho yang dijual Pak Tarno. Pot komposter biopori, pupuk kompos cair dan kompos padat, bibit tanaman, dan segala hal yang berhubungan dengan sampah dan penghijauan, menjadi lembaran-lembaran rupiah baginya.

Pupuk kompos cair yang sudah dimasukkan ke dalam botol misalnya, ia jual dengan harga Rp20.000. Padahal pupuk itu berasal dari sampah sayuran. Artinya, tak perlu pakai modal besar untuk membuatnya. Cukup dengan ketekunan dan kegigihan bergulat dengan sampah, semuanya bisa jadi ladang penghasilan.

‘Ladang’ lain yang juga ia kelola adalah taman mini yang ia bangun di atas rumahnya. Ada beragam tumbuhan di sana. Kelor, kangkung, lidah, buaya, belimbing, cabai, seledri, dan lain-lain mewarnai taman itu.

Taman Mini Pak Tarno yang berada di atas rumahnya

Seperti prinsip Pak Tano: bertanam tak harus ada lahan. Maka itulah ia siati menanam dengan media tanam pot. Bersama isterinya yang juga seorang guru, Pak Tarno menyiram dan merawat taman mininya dengan kasih sayang, hingga tumbuh menjadi sesuatu yang layak dikonsumsi dan diperjualbelikan.

“Nah, kelor ini kalau saya jual Rp200 ribu nih, sudah ada yang mau beli,” katanya saat saya diajaknya main ke taman mini. Jika ada tanaman yang terjual, maka Pak Tarno langung akan menanam tanaman baru. Jadi tamannya tak pernah sepi dari penghijauan. Bisa setiap hari lho pak Tarno menanam.

Pak Tarno di taman mininya
Tanaman gantung di rumah Pak Tarno
Di taman mini ini, selain banyak koleksi tetanaman, juga ada kolam lele yang airnya berasal dari limbah AC, seperti yang saya sebut tadi. Jadi, taman mini Pak Tarno, tak hanya mengandung gizi, tapi juga menyimpan bibit-bibit rupiah dan menghemat pengeluaran.

Kolam lele
Meski sampah dan bibit tanaman bisa menghidupinya, sesungguhnya bagi Pak Tarno, apa yang ia lakukan bukan sekadar mengais profit semata. Namun di baliknya ada tujuan mulia, ia ingin menginspirasi masyarakat. Ia berharap ada yang meniru cara ia bagaimana membuat tong komposter, sehingga masyarakat tak perlu lagi membeli. Juga dengan getolnya ia bertanam, diharapkan warga lain juga terpacu menghijaukan rumahnya dengan tetanaman.

Karena semakin banyak warga yang bisa membuat tong komposter dan menanam, maka bumi pun akan semakin hijau. Itu sebab, mengapa ia tak pelit berbagi ilmu kepada setiap orang yang datang mengunjunginya untuk belajar soal sampah dan penghijauan.

Rumahnya pun, dia jadikan sebagai tempat “Sekolah Sampah”. Teras rumahnya menjadi saksi atas kunjungan ribuan orang yang pernah menggali ilmunya. Ya, di teras rumah itulah ia mengajar dan berbagi ilmu kepada tamu dari berbagai daerah, mahasiswa, warga, pegiat lingkungan, instansi pemerintah, media, hingga blogger seperti saya. Bermodalkan tape/ radio, mic dan proyektor, Ia tebarkan ilmu soal sampah dan penghijauan kepada tamu yang biasanya datang rombongan itu.

Rumah Pak Tarno yang jadi "Sekolah Sampah"

Pak Tarno menebarkan ilmu sampah dan penghijauan di rumahnya. Gambar: IG @proklim_sunterjaya01

Karena aktivitasnya sebagai pengajar soal sampah, maka pengunjung dan warga, sepakat memberikan julukan “Guru Sampah se-Indonesia” kepadanya.

“Apa yang kita lakukan akhirnya diminati banyak orang. Saya ingin tamu yang datang sebulan yang lalu (yang belajar soal komposter) kalau ke sini lagi ada perubahan. Yang akhirnya dari perubahan itu bisa menjadi produk-produk yang akhirnya bisa juga membuat turunan komposter, misal pupuk cair, bioaktivator, pot, alat raga pendidikan, dll,” harapnya.

Geliat Pak Tarno dalam penghijauan dan pengolahan sampah hingga menjadi lingkungan hijau, mengantarnya menerima penghargaan Kalpataru Tingkat Provinsi DKI Jakarta 2016 Kategori Pembina Lingkungan.

Sosoknya yang inspiratif pun, terdengar oleh PT Astra International, Tbk. Melalui Astra Honda Motor (AHM), Astra memberikan bantuan senilai Rp20 juta rupiah untuk membantu kegiatan Pak Tarno menyebarkan benih-benih cinta lingkungan. Namun bantuan itu tidak dalam bentuk uang. 

“Astra membantu memberikan kursi, tape atau radio untuk kelas mengajar di rumah saat ada rombongan yang berkunjung. Juga memberikan proyektor dan penataan ruang untuk membuat tong komposter. Dulu ruangan ini tidak begitu bagus, kini dengan bantuan Astra sudah direnovasi,” ujar Pak Tarno.

Selain itu, Astra juga memberikan pelatihan pengembangan usaha. Sejak 2014, Astra menggandeng kampung ini untuk lebih berseri dan menginspirasi. Kampung Berseri Astra (KBA) Pro Iklim RW 01 Sunter Jaya, kini makin hijau dihiasi bibit-bibit pokcay dan kebun organik dari Astra.

“Apa yang saya lakukan, saya beritahukan ke pihak Astra agar mereka tahu bahwa apa yang sudah mereka bantu itu berjalan dengan baik,” tuturnya.




Geliat Ibu Pelopor Sampah yang Menampung ‘Kotoran’

Pak Tarno tak sendiri, ada Ibu Sri Rahayu (54 thn) yang juga menggerakkan penghijauan dan menampung sampah di RW 01 Sunter Jaya ini. Ibu Sri adalah Ketua Pengurus Bank Sampah yang juga merangkap Ketua PKK, dan isteri dari Ketua RW 01, Pak Sukartono. Itu sebab, Ibu Sri sering disapa “Bu RW” oleh warga. Suami isteri ini sama-sama menggelorakan penghijauan.

Kalau Pak Tarno dijuluki Guru Sampah se-Indonesia, maka Ibu Sri disebut warga Ibu Pelopor Sampah, karena ia juga berkutat dengan sampah.

Jika ingin menemui Ibu Sri, datang saja ke bank sampah yang berada di RT 13, setiap Sabtu dan Minggu pukul 9 pagi. Di sana, Ibu Sri setia menanti kedatangan warganya yang datang membawa sampah non organik, seperti bekas botol kemasan, tutup botol, bekas wadah kosmetik, shamphoo, deterjen, karung dan lain-lain.

Karung bekas dan tutup botol plastik sebagian disulap menjadi tas oleh ibu-ibu pegiat bank sampah. Sedangkan wadah deterjen, sabun cair, minyak goreng dijadikan media tanam. Bekas botol air kemasan dijadikan hiasan dan juga media tanam.

Bekas bungkus sachet kopi di-simsalabim menjadi karpet, tas dan dompet. Kain perca dijahit menjadi taplak meja, hiasan jilbab, tas, atau hiasan bros. Tutup botol disatukan hingga menjadi tas, sementara kaleng bekas dimanfaatkan untuk tutup lampu. Sedangkan sampah yang tidak digunakan akan dijual ke lapak.

Si Adek syantai banget sih duduk di karpet dari bekas kemasan sachet karya ibu-ibu RW 01 Sunter Jaya. Selain karpet, ada juga tas, pajangan, hiasan dan juga jilbab yang dihiasi kain perca.  (Gambar: Ibu Sri)

Nah, kalau wadah bekas kosmetik atau minyak rambut akan ‘dilirik’ Pak Tarno.

“Pak Tarno sering ke sini, dia melihat-lihat sampah apa saja yang ada di bank sampah. Ketika melihat wadah bekas minyak rambut, dia bilang ‘wah, ini bisa untuk saya’ dia milah sendiri. Jadi kita berkolaborasi dengan Pak Tarno. Kemarin sore Pak Tarno ke sini, mengambil wadah bekas krem kosmetik untuk wadah bibitnya,” kata Ibu Sri.

Sri juga menjelaskan, Pak Tarno sering mendapatkan pesanan bibit tanaman. Sekali mendapatkan pesanan bisa puluhan hingga ratusan. Nah, Pak Tarno yang menyediakan bibitnya, sementara media tanam untuk bibit, Pak Tarno akan ‘ngubek’ bank sampah untuk mencari wadahnya.
 
Ibu-ibu pegiat bank sampah pun tak mau kalah dengan Pak Tarno. Mereka juga mencari bibit dan menjualnya. Bahkan Pak Tarno pun membeli bibit dari bank sampah jika sedang banyak pesanan sementara stok bibitnya sedang menipis

“Ini bibit yang dibuat oleh pegiat bank sampah, kadang kami jual ke Pak Tarno cuma dua ribu rupiah. Tapi Pak Tarno menjual bibit itu ke pihak lain bisa jadi Rp20.000. Karena keuntungan yang berlipat itu, Pak Tarno sering ngasih lebih. ‘Nih (saya kasih) sepuluh ribu untuk satu bibit,’ ujar Sri sambil menujukkan bibit yang dimaksud.

Ibu Sri Rahayu menunjukkan bibit yang pernah dibeli Pak Tarno

Bibit bayam, kangkung dan sawi di pekarangan bank sampah

Karena kolaborasi mereka yang sungguh hijau itu, bank sampah pun menjadi bertumbuh dengan larisnya penjualan bibit dan benda-benda yang mereka produksi dari bahan-bahan bekas tadi. Ibu Sri juga menyebut ada salah satu bos Astra yang membayar satu juta rupiah untuk membeli 3 tas dari tutup botol dan kaleng bekas untuk tutup lampu.

Pundi-pundi rupiah itu menjadikan perputaran uang kas berjalan baik. Uang dari hasil pengolahan bank sampah, masuk kas RT masing-masing atau masuk kas dasa wisma. Uang itu, salah satunya digunakan untuk membayar atau membeli sampah-sampah yang dijual warga ke bank sampah. Saldo keuntungan bank sampah dibuat modal.

Siapa saja yang boleh menjual sampah ke bank sampah ini?

24 RT yang digawangi oleh RW 01 ini, semuanya boleh mengirimkan sampahnya ke bank sampah yang diberi nama “Puspa Cindra Kana” ini. Warga dari RW lain pun boleh lho. Dari instansi sekolah bahkan dari pemulung pun akan disambut dengan hangat oleh ibu-ibu pengurus bank sampah. “Pemulung juga ngasih sampahnya ke sini, datang dengan gerobaknya. Karena di lapak-lapak lain harganya murah, makanya mereka (pemulung) pilih jual di sini,” kata Sri.

Pagi itu, di Bank Sampah.

Saya merasakan semangat warga yang datang dengan membawa karung besar. Kebanyakan isinya sampah plastik botol kemasan. Ada Lisa, penjaga kos-kosan yang membawa sampah dari bekas wadah kemasan anak-anak kos. Ada juga Puput yang sedang hamil satu bulan datang bersama anak dan sepupunya.

"Saya baru dua kali ini mengantar sampah ke sini. Di rumah sering beli air kemasan, makanya daripada dibuang mending dijual ke bank sampah," kata Puput.

Puput (celana garis-garis) bersama sepupunya

Sampah mereka kemudian ditimbang. Jika sampah dalam keadaan bersih, 1 kilogram sampah dibeli Rp3500, jika dalam kondisi kotor, dihargai Rp1500.

“Lisa, 4 kilo sampahnya,” teriak salah satu petugas bank sampah yang menimbang.

Mendengar itu, Bu Sri langsung mencatatnya di buku tabungan sampah. Selayaknya bank, maka masing-masing warga yang “menabung” di bank sampah juga memiliki buku tabungan. Dari hasil penjualan sampah tadi, warga tidak langsung mengambil uangnya, namun ditabung. Biasanya diambil setahun sekali saat masa tahun ajaran baru atau saat hari raya.

“Uangnya bisa untuk beli daging atau baju anak saat masuk sekolah. Gak harus setahun sekali, kalau ada yang butuh boleh diambil tabungannya,“ jelas Ibu Sri sambil menulis tabungan nasabah di buku tabungan.

Ibu Sri menulis tabungan sampah di buku

Sebelum Puput pulang, Ibu Sri memberikan tas yang terbuat dari karung bekas kepada Puput dan sepupunya. “Pilih saja itu tasnya, lumayan buat belanja. Itu bikinan ibu-ibu di sini,” ucapnya.

Saya melongok melihat ke dalam bank sampah. Berkarung-karung sampah yang sudah dipilah, disisihkan. Siap dijual ke lapak. Sebagian didaur ulang warga atau pengurus.

Namun, sampah yang baru datang, masih dibiarkan dulu sambil menunggu proses pemilahan. Setiap Sabtu dan Minggu, biasanya paling tidak ada 10 orang nasabah yang mengantar sampahnya ke bank sampah.

Bukan hanya Puput dan Lisa yang mengantar sampah hari itu, tapi juga ibu-ibu ini.
Ada tas dari karung bekas, tutup botol dan bekas wadah kosmetik di bank sampah
Proses bank sampah

Harga jual ke lapak mengikuti pasaran, untungnya sedikit, namun tak masalah karena tujuan bank samph adalah demi meminimalisir atau memanfaatkan sampah.  Kendati begitu Ibu Sri pernah merugi. Sebabnya, harga jual sampah ke lapak mengikuti harga dollar. Ketika ada masa resesi (kemerosotan ekonomi) dan harga emas pun turun selama dua bulan, maka harga jual ke lapak jadi turun.

“Meski begitu, harga sampah yang saya beli dari nasabah tetap harga biasa, walau saya rugi. Tapi gak apa-apa, takutnya nasabah saya lari (jika harga beli sampah diturunkan), jadi saya pertahankan,” jelasnya.

Ibu Sri sangat paham, jika sampah plastik tak bisa terurai oleh alam. Kalau pun terurai, butuh ribuan tahun. Kita semua mungkin sudah gak ada lagi di dunia, lalu anak cucu kita yang kebagian “menimbanya”. 

Karena itu, ia mengusahakan agar sampah yang dihasilkan warga paling tidak hanya 20 persen. Selebihnya, ya dimaanfaatkan untuk daur ulang atau recycle. Untuk itu juga ia mengajarkan warga bagaimana mengolah sampah organik dan non organik, selain mendirikan bank sampah.

Untuk itu pulalah ia rela merugi asalkan warganya tetap datang ke bank sampah, mengantar sampah-sampahnya. Meski begitu, ada juga warga yang tak mau mengirim sampahnya ke bank sampah. Salah satu warga, Ibu Ria, tak mau ke bank sampah karena harga belinya dianggap murah. “Males ah, cuma Rp3500 satu kilonya,” ujarnya saat saya sedang makan mi ayam di warungnya.

Kini ada 50 nasabah bank sampah, dari semula 100 nasabah. Jangan dikira penurunan jumlah nasabah adalah suatu kemunduran. Justru itu adalah pertanda atau parameter bahwa program yang digagasnya sukses, kesadaran gaya hidup ramah lingkungan dengan meminimalkan sampah sudah dijalankan.

“Itu berhasil, artinya ada pengurangan sampah plastik yang digunakan masyarakat, makanya nasabahnya berkurang,” tegas Ibu Sri.

Ini adalah pekarangan bank sampah yang dipenuhi TOGA. Waktu saya memotretnya tempat ini belum dibuka

Saat bank sampah ini berdiri pada 2011 lalu, Ibu Sri menampung sampah itu di rumahnya, karena belum ada bangunan atau tempat yang bisa dijadikan bank sampah. Ia tak keberatan rumahnya jadi penuh sampah dari warga. Namun, warga yang justru protes. “Rumah Bu RW, kok jadi kotor,” kata Ibu Sri menirukan ucapan warga.

Karena itu, ia mencari lahan kosong untuk dibangun bank sampah. Tempat yang awalnya empang, ia keruk. Ia cari pihak swasta yang mau mendukungnya agar bisa mewujudkan impiannya membangun bank sampah. Astra Honda Motor (AHM) langsung setuju ketika digandeng untuk bahu membahu membantu membangun bank sampah ini. Lalu jadilah bangunan bank sampah itu.

“Dari awalnya hanya sekat bedeng, yang ‘isinya’ terlihat dari luar, makin lama makin banyak nasabah, maka bank sampah pun dirombak, lalu saya minta AHM untuk mempercantik tempat ini,” katanya.

Bahkan oleh AHM dibuatkan juga ruang kantornya. Ketika ada tamu yang datang, bisa ngobrol di dalam kantor yang dihiasi foto-foto kegiatan warga dan penghargaan kampung RW 01 itu. Selain itu, AHM juga membantu menyediakan tong PAH, spanduk slogan, pelatihan daur ulang, bioponic, juga pelatihan pemanfaatan styrofoam untuk dibuat batu bata dan hiasan dinding.


Hijau yang Menggugah

Sampah dan penghijauan erat kaitannya. Tak akan hijau suatu kampung kalau sampah masih dimana-mana atau warga belum bisa mengolah sampah. Dari penghijauanlah, maka sampah pun bisa diolah dan ditekan.

Halaman bank sampah pun dihiasi dengan tanaman obat keluarga atau TOGA. Ada cocor bebek, kemuning, pepaya Australia, rumput Afrika, lidah mertua, kelor, lidah buaya, belimbing, sawo, jambu, kurma, delima, ciplukan, pakis dan lain-lain. Ada juga bibit kangkung, sawi, bayam dan lain-lain. Selain sebagai bentuk penghijauan, bibit-bibit itu juga dijual.

Salah satu tanaman ada yang menarik perhatian saya, karena daunnya berwarna merah. Namanya daun Miana. Kata Ibu Sri daun ini bisa dibikin jadi peyek layaknya peyek bayam.

Daun Miana
Sekitar tahun 2010, Ibu dari 3 anak yang kala itu masih menjadi “Bu RT 13” ini, menekankan kepada warga agar satu RT minimal ada 3 pot. Makin lama kesadaran masyarakat untuk sayang dengan alam semakin besar.

Ini terlihat dari rumah warga yang masing-masing memiliki tanaman sendiri meski harus berhadapan dengan keterbatasan lahan. Warga pun menyiasatinya dengan menaruh tanaman di pot, di pagar, di dinding/ tembok jalan atau digantung di teras rumah.

Perjuangannya memelopori penghijauan dan sampah tak kenal waktu dan lelah. Jika ada rumah yang lagi dibangun, bekas wadah cat ia ambil, lalu dijadikan wadah tanaman. Kalau ada pendatang atau tamu yang buang sampah sembarangan, ditegurnya baik-baik. Begitupun juga jika ada rumah dijual, lalu dihuni warga baru dan warga tersebut tak mau menanam akan ia arahkan pelan-pelan.

Soal penghijauan dan warga baru, ada cerita yang sangat menyentuh dan inspiratif dari Seorang Ibu Pelopor Sampah ini.

Kata Ibu Sri, ada warga yang baru pindah ke kampung tersebut. Warga itu tak mau menanam, dengan alasan malas menyiram tanaman. Ibu Sri lantas menjelaskan dengan baik-baik, kalau peraturan di Sunter Jaya RW 01, setiap warga harus menanam tanaman di rumahnya. Kalau warga tersebut malas menyiram, Ibu Sri bersedia membantu menyiram. Hal itu pun dilakukan Ibu Sri. Setiap sore ia menyiram tanaman warga tersebut hingga tanamannya tumbuh subur. 

Seiring berjalan waktunya, entah karena malu, gak enakan, atau mulai sadar akan cinta lingkungan, warga tadi justru bilang ke Ibu Sri: ‘Bu, gimana kalau rumah saya dibikin taman aja ya. Dan ada air mancurnya juga’.  Ibu Sri tentu saja kaget sekaligus mendukung keinginannya. ”Oh, boleh kalau bisa ada kolam ikannya juga, biar jadi taman gizi,” saran Ibu Sri.

Rumah itu pun kini menjadi hijau dengan taman indah, yang awalnya sang tuan rumah menolak bertanam. Tak hanya itu, saat Ibu Sri main ke belakang rumah warga tadi, pemandangan indah lainnya ia dapatkan juga. “Saya kaget, di belakang rumahnya penuh dengan tanaman, rupanya virus positif yang saya tularkan mampu menggugah warga tadi untuk menanam,” ceritanya.

Bahkan, ketika kerja bakti dan warga tadi tak bisa ikut karena suatu alasan tertentu, maka dia akan memberi minuman atau makanan untuk warga yang kerja bakti. “Dia mengerti, kalau gak ikut kerja bakti, ya harus diganti dengan membantu menyediakan makanan/ minuman, walaupun tidak dianjurkan atau dipaksa.”

Salah satu gang di RW 01 Sunter Jaya

Ya, untuk menjadikan kampung pro iklim ini makin berseri, kerja bakti di lingkungan RT diadakan seminggu sekali, sedangkan kerja bhakti massal sebulan sekali. Untuk mencegah banjir, ada sekitar 250-an lubang biopori yang dibuat. Namun karena proses pengurukan yang dilakukan pemerintah, menurut Ibu Sri, kini tinggal 50 lubang biopori. Di halaman bank sampah pun ada 3 lubang biopori.

Sementara tong Penampung Air Hujan (PAH) juga ada di beberapa titik gang dan jalan. Tong-tong PAH itu, salah satunya adalah pemberian dari Astra.

Untuk warga yang ingin membuang sampah sayuran dan menjadikannya pupuk kompos cair, tong komposter pun disediakan. Dari 24 RT, disediakan 80 tong komposter. Tong-tong itu, selain dari Pak Tarno ada juga sumbangan dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.

Warga yang ingin mencari bibit untuk menanam, tinggal datang saja ke rumah Pak Tarno. Tanaman TOGA yang memenuhi halaman bank sampah pun, bibitnya ada yang diambil dari Pak Tarno.

Duet hijau Sang Guru Sampah dan Ibu Pelopor Sampah, menghasilkan kampung yang bergelora dengan penghijauan dan menyulap sampah menjadi sesuatu yang berguna. “Kalau gak ada motivatornya, gak akan berkembang, mbak,” ujarnya.

Yup, Ibu Sri dan Pak Tarno adalah salah salah motivator warga di Kampung Proklim RW 01 Sunter Jaya ini. Tak hanya sama-sama mengelola sampah, tapi lebih dari itu ada hubungan mutualisme atau saling menguntungkan di antara mereka. Tapi mutualisme yang positif tentunya, demi kesejahteraan warga dan kesejukan kampung, agar tak menjadi tandus di tengah panasnya ibu kota.

Berkat pembinaannya itu, kampung padat ini pun menjadi Juara 2 Kampung Berseri Astra (KBA)-Binaan Astra se-Indonesia dan mendapat Bintang 4,  serta Juara 3 Kampung Berseri Astra (KBA) Tingkat DKI  pada 2016.

Ibu Sri sedang mewarat bibit di pekarangan bank sampah

Ibu Sri, dari remaja senang menanam. Dulu ketika ia masih tinggal di Semarang, tetangganya tertular kebiasaan menanamnya. Lalu, Ia berpikir kenapa kebiasaan menanamnya tak diterapkan juga di Kampung Proklim Sunter Jaya?

“Sebelum jadi Bu RW, saya sudah punya program, untuk ke depannya menjadikan RT 13 sebagai kampung wisata. Dan suami saya (yang saat itu ketua RT 13) gak tahu rencana saya,” ucap Sri yang sejak 1990 sudah tinggal di Sunter Jaya.

Keinginannya terwujud! 

Kampung ini pun menjadi kampung wisata. Tak hanya untuk kalangan Jakarta dan Indonesia saja tapi juga menjadi kunjungan wisata oleh pejabat, pegiat lingkungan dan mahasiswa dari mancanegara.

“Tamu yang datang ke sini dari China, Malaysia, Thailand, Chili, Jepang, India, Amerika, Pakistan dan lain-lain. Mereka datang ke sini untuk studi banding karena RW 01 Sunter Jaya adalah RW unggulan di Jakarta,” jelasnya.

Ada juga mahasiswa dari Eropa, Belanda dan Jepang yang datang ke sini lho. Menurut Ibu Sri, tujuan kedatangan mahasiswa biasanya untuk skripsi bank sampah. Meski keterbatasan Bahasa Asing, namun perempuan yang aktif berorganisasi sejak remaja ini, tak surut menjelaskannya dengan cara yang mudah dimengerti.

“Saya pakai bahasa isyarat menjelaskan kepada mahasiswa asing soal grafik yang meningkat, mereka paham maksud saya dengan menunjukkan jempolnya,” cerita Ibu Sri sambil tertawa. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama jajarannya juga menyempatkan berkunjung ke sini pada Januari 2019 lalu. Menurut Sri, Anies kagum dengan penghijauan kampung Proklim Sunter Jaya, serasa berada di daerah. “Saya di mana ini? Hijau semua,” kata Sri menirukan ucapan Anies. 

Potret kunjungan dari mancanegara dan Gubernur Anies

Cetar membahananya kampung ini dengan penghijauan dan pengelolaan sampah, membuat salah satu kementerian di Amerika kepincut meliput kampung ini sebagai iklan pariwisata pada Mei 2019 lalu.  Dan iklan itu ditayangkan setiap sore di salah satu TV di Amerika. Satu lagi pencapaian, betapa wisata kampung ini tersebar dan ditonton orang hingga ke luar negeri.

Salah satu sebabnya #IndonesiaBicaraBaik di kancah Internasional melalui tamu mancanegara yang datang, lewat gerakan yang dilakukan Ibu Sri, Pak Tarno dan warga Sunter Jaya. Karena #KitaSATUIndonesia, maka geliat Ibu Sri dan warga Sunter Jaya mewakili ikon penghijauan  bangsa Indonesia.

“Suatu kebanggaan bagi saya, terpilih untuk Iklan Pariwisata DKI Jakarta, salah satunya perkampungan RW 01 Sunter Jaya, untuk ditayangkan di TV Amerika”

“Livi Zheng, salah satu kru Film dari Amerika, saat syuting mengatakan kepada saya kalau dari sekian tempat yang ia kunjungi, penduduk yang menerima krunya dan sambutannya yang paling berkesan ya di Sunter Jaya. Sederhana tapi menarik, sambutannya, keluguannya dan tanggung jawabnya,” kata Ibu Sri menceritakan pengalaman syutingnya bersama kru dari Amerika.

Kenangan saat syuting iklan pariwisata bersama kru USA

Saya teringat dengan motto hidup Penyanyi asal Indonesia yang Go International Agnez Mo: Dream, Believe and Make it Happen. Itulah kini yang meronai Ibu Sri dan cita-citanya. Gaya bicaranya yang luwes, ramah dan gaul pun membuatnya dijuluki “Bu RW Gaul” oleh warga. Keluwesan dan support itu ia lakukan sejak suaminya menjabat sebagai Ketua RT 13, kemudian menjadi Ketua RW 01 sejak 6 tahun lalu.

Dua periode kepemimpinan mendampingi suami sebagai Ketua RW 01 Proklim Sunter Jaya ia lalui. Prestasi tingkat kota dan nasional pun disabet, diantaranya:

-Juara 1 Lomba LBS (Lingkungan Bersih Sehat) mewakili RW 01, Tingkat Nasional (2018)
-Juara 1 Penyuluhan ASI Tingkat Kota (2017)
-Juara 1 Pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) (2017)
-Juara 1 pemberian PMT (Penyuluhan Makanan Tambahan) (2017)
-Juara 3 Kampung Pro Iklim Tingkat Nasional (2016)
-Juara 1 Kampung Pro iklim Tingkat DKI Jakarta (2015)
-Juara 2 Mandiri Kotaku Bersih Jakartaku (MKBJ) Tingkat DKI (2011)
-Juara 2 Kampung Berseri Astra (KBA)-Binaan Astra se-Indonesia (Bintang 4)
-Juara 3 Kampung Berseri Astra (KBA) versi pemerintah
-Juara 3 Kampung Berseri Astra (KBA) Tingkat DKI (2016)
-Juara 2 PKK Posyandu Balita dan Senam kreasi Tingkat DKI
-Juara 1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tingkat Provinsi (2014)

“Karena sudah mandiri, kini target saya menuju atau menjadi (kampung) Lestari. Dan syaratnya, saya harus mempunyai minimal 10 daerah binaan, baik di Jakarta atau di luar kota di Indonesia,” harapnya.

Semoga keinginanmu tercapai, Bu!


 #KitaSATUIndonesia  #IndonesiaBicaraBaik 






Bos Master yang Jadi Master


Sang Master, Hariyanto

Cerah siang itu. Ojek online yang mengantar saya ke kawasan Jatinegara Lio, Jakarta Timur itu pun, melaju tanpa hambatan. Saat saya tiba di tempat yang dituju, pria berkemeja hitam yang saya cari itu tengah sibuk menghitung jumlah nominal yang tertera pada lembaran kuitansi yang dipegangnya. Sementara, tangan kirinya tak henti memencet tombol kalkulator. Tak jauh darinya, saya melihat alat-alat mekanik service handphone. Sementara di kotak etalase, terlihat jejeran puluhan handphone yang telah selesai diservis, ada pula yang menunggu antrian untuk diperbaiki.

Handphone yang sudah dibenahi, akan dibalut dengan lembaran kuitansi, sebagai tanda bukti kepemilikan sekaligus keterangan biaya servis. Ragam ponsel dari berbagai merk itu, menunggu kedatangan tuannya untuk mengambilnya. 

Handphone yang diservis di Master Handphone


Pria hitam manis yang siang itu sedang sibuk, menghentikan aktifitasnya ketika melihat kedatangan saya. “Mbak Eka, ya?” ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan saya. Hariyanto, namanya. Ia sudah 5 tahun berkutat sebagai tehnisi handphone dan menjadi kepala counter. Saya menemuinya di counter tempat ia bekerja.

Karena sebelumnya kami sudah berkomunikasi melalui telephone, maka obrolan pun langsung berkutat pada dunia ponsel. Kebetulan, gadget yang saya miliki terkadang bermasalah. Sambil mengobrol, saya juga mengulik-ngulik sedikit ilmu dari pemuda berusia 30 tahun itu.

 “Apa sih mas yang bikin handphone lemot dan mudah rusak?” Tanya saya. Ia pun menjelaskan dengan panjang lebar berikut tipsnya. Disela-sela obrolan, Ia juga menunjukkan beberapa kepingan LCD (Liquid Crystal Display) handphone rusak.

“Pernah sampai Rp 1,5 juta biaya servis LCD-nya. Jika LCD itu dari handphone yang harganya mahal, semakin semakin besar pula biayanya, begitu juga sebaliknya “ kata Hari.

Kerusakan LCD adalah kasus yang paling sering ia jumpai, selain kerusakan handphone yang tak bisa dicharge. “Biasanya kalau LCD rusak, touch screen-nya (layar sentuh) juga ikut-ikutan,” ujarnya sambil membongkar dan menunjukkan handphone yang mengalami kerusakan LCD.

Untuk mengetahui kerusakan atau apa yang terjadi pada suatu  handphone, ia akan mengukurnya dengan Power Supply. Dengan alat ini, Hari bisa melihat respon ponsel terhadap listrik, tegangan dan lain-lain. Dari situ bisa terdeteksi apa kerusakannya, tanpa harus membongkar handphone. Hari mengibaratkan, alat ini seperti stetoskop yang sering dipakai dokter untuk memeriksa pasien.

Setelah diketahui kerusakannya, maka ia akan memberitahu atau menghubungi pelanggannya, berikut perkiraan biaya servisnya. Hari mengaku, biaya servis di tempatnya beragam. Dari Rp25 ribu hingga Rp1,5 juta, tergantung tingkat kerusakannya. ”Ada juga yang membatalkan servisnya, karena dianggap biayanya cukup mahal,” ujarnya.

Alat power suplly

Berawal Dari Pelatihan Gratis

Berbicara dengan pria lajang ini cukup mengalir. Ia paham betul seluk beluk jeroan handphone. Setiap pertanyaan saya, ia jawab dengan lancar. Saya pikir ia lulusan sekolah tehnik. Rupanya, ilmu yang membuatnya bak seorang master, tak semahal yang diduga. Ia justru  mendapatkannya secara gratis, berkat pelatihan dari Yayasan Amaliah Astra melalui Lazis Amaliah Astra (LAA) dan disupport oleh PT Dic Astra Chemical (PT DAC), produsen bahan pewarna untuk produk plastik, tekstil, cat dan kayu lapis. Mengadakan pelatihan servis ponsel adalah salah satu wujud CSR perusahaan, yang ditujukan untuk warga yang tidak punya pekerjaan atau putus sekolah yang berada di sekitar kawasan Industri Pulo Gadung.

“5 tahun lalu, saat saya sedang berjalan di sekitar rumah saya, di dekat kawasan Industri Pulo Gadung, tak sengaja melihat ada spanduk  bertuliskan: pelatihan service handphone gratis dari Lazis Amalia Astra. Saya pikir, wah unik dan menarik ini, gratis lagi. Terus, saya catat nomor kontaknya,” kenang Hari. Dari situlah semuanya berawal. Apalagi, saat itu Hari tengah menganggur, karena baru lepas kontrak kerja dari tempatnya mengais rezeki.

Ia pun mencari tahu tentang kegiatan ini dan mendaftar bersama dengan 50 orang lainnya. Butuh perjuangan untuk membuatnya mendapat kesempatan, karena semua peserta yang mendaftar harus menjalani tes terlebih dulu. Psikotes dasar, wawancara soal visi misi dan apa pandangan calon peserta terhadap wirausaha, adalah beberapa hal yang harus mereka lalui. Beruntung, Hari lolos.

“Dari 50 menjadi 25 peserta, terus berkurang lagi jadi 18 peserta. 18 orang inilah yang dicari potensinya untuk dibina. Kami melalui pelatihan selama 10 hari dari pagi sampai sore di PT DAC. Dari 18 orang itu, masih dikerucutkan lagi untuk dibina LAA dan PT DAC. Hingga sampai hari terakhir, yang benar-benar bertahan hanya 8 orang,” kata Hari sembari mengingat apa yang dia lalui hampir 6 tahun lalu.

8 orang ini, menurut Hari, tak sertamerta langsung jadi. Sebagai pembuktian, usai merampungkan pelatihan, Hari dan rekan-rekannya diterjunkan langsung ke rangkaian bakti sosial, berupa service handphone gratis di PT DAC selama satu minggu. Tujuannya, untuk menempa mental dan mengasah ilmu. Sebagai tahap awal, customernya dari pihak internal dulu, yaitu karyawan PT DAC.

“Dari situ, panitia menilai tolak ukur. Ilmu yang disampaikan dapet gak sih? Bisa gak kami dihadapkan kepada permasalahan yang memang sudah terjadi, dalam arti bagaimana menghadapi handphone yang rusak. Jadi ada step by step yang harus dilewati, seperti permasalahan hardware dan software. Disitulah panitia melihat mana yang kompeten atau yang bisa dilanjutkan lagi, atau disebut masa inkubasi,” jelas Hari.

Setelah satu minggu baksos, mereka melalui tahap konsolidasi, yaitu  pertemuan antara tehnisi dan panitia penyelanggara. Dari sini, Hari dan 7 rekannya, dinyatakan lulus sebagai peserta pelatihan angkatan ke-5.

Ketiban sesuatu yang gratis namun berbobot tak berhenti sampai di situ. Oleh LAA mereka dibuatkan 1 unit usaha atau counter service handphone. Agar ilmu yang mereka dapat tak hilang begitu saja, tentunya. Counter itu sudah dilengkapi dengan etalase berikut peralatan-peralatan service handphone. Counter yang berukuran 6x4 meter itu, mereka namakan Master Handphone. 

Suasana counter

Jarak antara pelatihan dan membuka counter, tak berjauhan. Hari dan 7 orang rekan-rekannya membuka counter pada Maret 2012, sementara pelatihan dilakukan Januari di tahun yang sama. Selama dibuatkan usaha atau membuka counter, Hari mengaku masih mendalami sklil dan belajar, namun ia dan rekan-rekan satu angkatannya tetap memberanikan diri untuk memulainya.

“Jadi, modal kita keilmuan dan kemauan, sementara LAA menyediakan alat-alatnya dan kita set up sendiri, selayaknya perlengkapan counter service handphone,” kata Hari.

Tak sulit mencari counter Master Handphone yang berada di kawasan Jalan Jatinegara Lio, Gang Alkaromiyah RT 5/4 Jakarta Timur ini. Lokasinya berada di tengah perkampungan, dilalui banyak orang. “Kalau pagi hari, ada banyak orang berjualan sayur di depan counter ini, mbak. Ini daerah pasar pagi,” katanya.

Karena ramai dan strategis itulah, membuat Hari dan rekan-rekannya bersama pihak LAA memilih membuka usaha di sana. Dalam sehari, kata Hari,  bisa 3 orang yang menyervis HP. Bahkan, pernah 10 orang sehari dengan kerusakan yang beragam, belum lagi customer yang membeli pernak-pernik lainnya.

Saat saya berada di sana, ada ibu-ibu yang membeli pulsa, tak lama kemudian, ada bapak-bapak yang minta tolong memindahkan data dari satu flash disc ke flash disc lain, karena bapak tersebut tak mempunyai komputer. 

Hari sedang melayani customer

Selain melayani perbaikan ponsel, counter ini juga melayani servis komputer, menjual pulsa, flash disc dan lain-lain. Untuk servis komputer, Hari mengaku belajar secara otodidak. Kemahirannya mengutak-ngatik handphone, membuatnya berani mengembangkan diri untuk merombak perangkat komputer. “Saya suka dengan kemajuan tehnologi,” ujarnya mengungkap alasan mengapa betah menekuni dunianya saat ini.

Ada Yang Hilang

Setelah melalui masa-masa perjuangan, dalam perjalanannya ada beberapa rekannya yang memilih mandiri dengan membuka usaha sendiri. Hingga, tersisalah tiga orang. Hari, Chairul Anwar dan Nurohim. Merekalah rekan satu angkatan yang bertahan menjaga gawang hingga saat ini.

Tahun 2015, ikut bergabung Dwi Trihandoko dan Yuda Martin. Keduanya adalah junior Hari yang mengikuti pelatihan service handphone LAA tahun 2013. Sama seperti Hari; Dwi dan Yuda mengikuti pelatihan tersebut karena belum punya pekerjaan usai menamatkan sekolahnya. Sampai sekarang, mereka berlimalah yang terus mengibarkan layar.

Dwi Trihandoko (baju hitam) tengah melayani customer

Meski kini yang mengelola counter tak sebanyak saat awal berdiri, namun tak membuat usaha tersebut menjadi surut. Buktinya, tahun 2015 lalu, Hari dan rekan-rekannya membuka counter service handphone baru yang lokasinya tak jauh dari tempatnya saat ini. LAA, yang menjadi "Bapak" untuk Master Handphone masih turun tangan membantu. Sayangnya, belum sampai setengah tahun usaha itu berjalan, counter mereka kebobolan. 14 unit ponsel milik customer dan alat-alat servis, berhasil digasak maling. Karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan, counter baru itupun terpaksa ditutup.

“Karena kejadian itu, mau gak mau kami mengganti handphone yang hilang tersebut per unit. Namun, ketika pemiliknya mengambilnya, mereka tetap kami kenakan biaya servis,“ ujar Hari sedih. Untuk mengganti biaya handphone yang hilang itu, dana mandiri dari usaha counter pun terpaksa dirogoh.

Meski demikian, saat ini Hari dan rekan-rekannya tetap konsentrasi  pada usaha pengembangan counter agar bisa melahirkan cabang-cabang yang potensial.


Kini Menjadi Master

Karena kepiawaian dan kecakapannya, sudah 4 tahun ini, Hari dipercaya LAA menjadi instruktur untuk mengajar di setiap pelatihan service handphone angkatan yang baru. Kepercayaan itu ia dapatkan tak lama setelah  mengikuti pelatihan pada 2012 lalu. “Setahun setelah ikut pelatihan dari LAA, saya dapat proyek jadi instruktur nih, untuk berbagi ilmu ngajarin junior, tapi harus jadi,” ujarnya tertawa.

Sudah sekitar 11 kali ia diajak LAA menjadi master atau instruktur pelatihan service handphone di Bogor dan di Jakarta. Saat ini, LAA kembali mengadakan pelatihan angkatan ke 17 di kawasan Buncit Raya, Jakarta Selatan. Kali ini, pelatihan yang dilakukan sejak 21 sampai 3 Desember 2016 ini disupport oleh DKM Astra Honda Motor. Hari pun, lagi-lagi didapuk menjadi instruktur.

Hari (berdiri) menyampaikan materi kpd peserta pelatihan sblm praktek



Suasana pelatihan pelatihan service handphone angkatan ke 17 di kawasan Buncit Raya, Jakarta Selatan. (Hari berada di tengah, baju putih)


 Pelatihan service handphone Lazis Amaliah Astra 21-3 Desember 2016


Selain diajak memberikan pelatihan service handphone, Hari dan rekan-rekannya juga rutin setiap tahun diajak ikut kegiatan Bakti Sosial LAA ke beberapa perusahaan grup Astra. Bakti sosial biasanya diadakan pada bulan Ramadan dan akhir tahun. Baksos tahunan yang pernah ia ikuti salah satunya di pabrik di pabrik Astra Daihatsu Motor (ADM) dan Astra Honda Motor (AHM) di Sunter. Kegiatan itu berlangsung dua hari.

Hari menceritakan pengalamannya dengan antusias.

“Kita open table di sana. Semua karyawan Daihatsu atau Honda yang handphonenya rusak, akan kami perbaiki. Sekali open table biasanya ada 50-an ponsel yang diservis. Karyawan grup Astra yang menyerviskan ponselnya kepada kami, gratis, karena ditanggung Astra. Nantinya, pihak Astra yang akan membayar kami, sesuai dengan jumlah hitungan biaya servis per unit HP,” tutur Hari.

Selain mendapatkan uang dari jasa pengerjaan atau perbaikan ponsel, kehadirannya di acara baksos dan pembiayaan stok sparepart counter juga ditanggung Astra.

Sudut counter

Hari dan 4 orang rekannya, sudah menjadi bagian dari keluarga Astra. Tak heran, setiap tahun mereka selalu dilibatkan untuk kegiatan CSR  perusahaan grup Astra atau bakti sosial melalui LAA.

“Sampai hari ini, dari segi usaha kita sudah mandiri, tapi dari skill atau keahlian kita masih dibantu dan dibina LAA dan PT DAC, misalnya sekarang lagi trending apa di pasaran, termasuk update pengetahuan soal tehnologi dan handphone yang terkini,” ujarnya.

Sejak Master Handphone berdiri, LAA mendapuk Hari sebagai penanggungjawab atau kepala counter. Kini, anak sulung dari 3 bersaudara ini lebih banyak memegang urusan administrasi, seperti menghitung biaya oprasional dan mengatur gaji bulanan untuk mereka berlima. Sesekali ia tetap membantu menyervis handphone.

Dalam sehari, pria yang doyan mengkonsumsi penganan mi ini, mengaku pemasukan rata-rata berkisar Rp300.000 per hari, bahkan pernah mencapai Rp 1 juta sehari.

Untuk pembagian gaji bulanan, Hari menjelaskan, dihitung berdasarkan siapa di antara rekan-rekannya yang paling banyak menyervis handphone dalam satu bulan. “Jadi, dalam satu bulan, gaji yang kami terima beda-beda, tergantung orderan” kata lulusan Manajemen Transport di salah satu sekolah tinggi di Jakarta ini.

Hari dan rekan-rekannya beruntung, karena bisa memulai usaha tanpa modal dan mendapatkan side job (menjadi instruktur dan dilibatkan bakti sosial) dari si pemberi bantuan pula. Itulah beberapa berkah yang didapat Hari dan rekan-rekannya selama 5 tahun ini.

Hari yang semula minim dengan ilmu tehnologi, kini malah menjadi master tehnologi. Dulu, Hari dilatih, kini ia melatih. Ilmu yang didapatkan secara gratis, nyatanya berguna bagi masyarakat yang membutuhkan. Dulu ia berpindah-pindah tempat pekerjaan dengan masa kerja 1 hingga 1,5 tahun karena sistem kontrak, kini ia bisa mandiri dan memimpin.

“Bekerja di sini sudah seperti kekeluargaan, kalau tak menyenangkan, gak mungkin saya bertahan sampai 5 tahun lebih,“ pungkas Hari sambil melanjutkan pekerjaannya.


Tetap Dikontrol

Apa yang dilakukan oleh Hari dan rekan-rekannya tetap dikontrol oleh pihak yayasan melalui LAA dan PT DAC. Seperti cash flow/audit keuangan, kemajuan SDM, alat-alat service handphone serta manajemen dan  kondisi counter.

Menurut Manager Pemberdayaan Yayasan Amaliah Astra, Agung Widodo, pengontrolan ini dilakukan agar orang-orang yang berada di bawah naungan LAA bisa disiplin dan serius melanjutkan wirausaha yang sudah mereka rintis bersama. Apalagi, visi misi LAA ingin menjadikan orang-orang yang dibantu, bisa mandiri. 

“Kita masih pantau terus, terutama untuk manajemen counter, kita mau tahu keseharian teman-teman di Master Handphone bagaimana. Dari jam masuk, jam pulang, transaksinya bagaimana dan juga audit keuangan. Setiap bulan mereka laporan ke kita,“ papar pria yang akrab disapa Dodo ini.

Menurut Dodo, Hari, sebagai kepala counter rutin memberikan  laporan sebulan sekali ke LAA. Misalnya, dalam satu bulan berapa handphone yang sudah diservis dan berapa penghasilan kotor yang sudah dipotong biaya oprasional. Pemotongan oprasional itu digunakan untuk membayar tehnisi, sewa tempat, listrik, dan lain-lain. 

Soal manajemen counter, Dodo bercerita.

Dulu, Hari dan rekan-rekannya kadang masuk jam 9 pagi , kadang jam 10 pagi. Sementara, pulang kadang jam 12 malam atau jam 2 pagi. Untuk itu, Dodo menyarankan, jam masuk kerja harus dipatok jam 8 pagi dan jam 10 malam harus pulang. Walaupun ada pekerjaan yang belum selesai, wajib pulang jam 10 malam, supaya pekerjaan mereka teratur dan kesehatan mereka tak terganggu.

Jadi tujuan kita mengontrol mereka, untuk melihat benar gak sih cara kerjanya? Kalau kurang benar, kita perbaiki, kalau sudah baik, kita buat lebih baik lagi. Walaupun secara skill tehnisi mereka berkembang sendiri, tapi kelemahannya mereka kurang bagus dari sisi manajemennya.  Kemarin belum diterapkan dan sekarang sudah diterapkan (disiplin jam masuk dan pulang), jadi kelihatan nih perkembangannya,” paparnya.  

Karena usahanya berkembang, Hari dan rekan-rekannya, menurut Dodo, menyisihkan sedikit pemasukan yang didapat untuk diberikan kepada yayasan melalui LAA. Meski begitu, pihak yayasan  tidak mematok berapa nominal yang harus disisihkan untuk mereka.

Mereka kita edukasi untuk berbagi, tadinya mereka kita bantu, kini giliran mereka yang membantu. Kita kan ada lembaga zakat juga, jadi uang itu nanti kita olah lagi untuk pelatihan service handphone selanjutnya. Walaupun tak banyak, tapi mereka kan merasa ikut membantu atau berperan, jadi gantian mereka yang membantu,” ujar Dodo sumringah.
Counter Master Handphone

Dodo memaparkan, sejak 2010 hingga 2016, sudah 334 orang yang menerima manfaat pemberdayaan pelatihan teknisi ponsel. Total dana yang telah disalurkan mencapai ratusan juta rupiah. Dana itu berasal dari  masyarakat yang memberikan infaq, sedekah atau zakat ke yayasan.

Selama 6 tahun ini, kurang lebih sudah 15 kali LAA mengadakan pelatihan service handphone yang disupport oleh beberapa perusahaan grup PT Astra International Tbk. 

Setiap tahun bisa 2 sampai 3 kali mengadakan pelatihan, tergantung dari request (permintaan) CSR perusahaan-perusahaan grup Astra. Perusahaan itu akan menjadi sponsor. Pelatihan dilakukan di daerah Jabodetabek, paling jauh Bandung,” ujar pria yang sudah 3 tahun bergabung di yayasan ini.

Yayasan Amaliah Astra, adalah salah satu yayasan yang didirikan oleh PT Astra International Tbk pada 2001. Tak hanya fokus pada kegiatan keagamaan saja, melalui Lazis Amaliah Astra (LAA), Yayasan ini juga memfasilitasi pemberian zakat, infaq dan sedekah  yang disalurkan untuk beasiswa dan modal wirausaha masyarakat, salah satunya dengan memberikan pelatihan service handphone secara gratis. Hari dan rekan-rekannya, hanya segelintir bagian dari orang-orang yang sudah merasakan manfaatnya. 

 Hari tengah menyervis handphone yang rusak LCD