Kampung Hijau |
Baunya anyir. Penampakkannya.... iihh... jorok, seperti sampah berair di dalam tong plastik. Warnanya coklat, diatas airnya mengapung sayur-mayur busuk. Sungguh tak elok dipandang.
Seorang perempuan berusia 61 tahun yang masih nampak gesit itu, menunjukkan pemandangan ‘jorok’ itu kepada saya. Setelah penutup tong dibukanya, secepat kilat pula ia menutupnya kembali. Mungkin ia juga tak kuat melihatnya.
Tak sampai dua detik menutup tong tadi, dengan pedenya ia membuka semacam keran yang menempel di tong, sehingga keluarlah air berwarna coklat bak air comberan itu.
“Nih, (penampakan) airnya,” ujarnya.
Saya meringis manis melihatnya. Untung sedang tidak ngemil makanan, hahahaha...
Ternyata, yang ditunjukkan perempuan itu kepada saya adalah pupuk kompos cair (pupuk kompos ada juga yang padat). Pupuk ini adalah hasil penguraian secara biologis bahan-bahan organik dari sayur-sayuran atau buah busuk.
Meski sudah sering mendengar istilah pupuk kompos sejak saya masih imut dulu, tapi baru kali ini saya melihatnya langsung. Itu karena saya bertandang ke Kampung Rawasari Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta, jadi ketemu deh sama si kompos, Sabtu pagi itu. Bagi saya yang jarang bercocok tanam ini, melihat penampakan pupuk kompos, sesuatu sekali.
Eti Mulyati, nama ibu berhijab abu-abu itu. Kurang lebih setahun belakangan ini, ia telah bergumul dengan sayur busuk atau sampah. Mungkin orang awam yang melihatnya, akan menggangapnya hal yang jorok. Namun, Biar kata yang dilakukannya ‘jorok’, tapi ‘kejorokan’ nya itulah yang ditunggu oleh warga tempat ia tinggal, tepatnya di RW 02 Kelurahan Rawasari.
Kebiasaannya yang bergumul dengan pupuk kompos, telah memberi manfaat untuk warga dan kampungnya. Banyak yang sudah menikmati pupuk kompos racikannya. Eti menyebut kompos yang ia buat sebagai “biang pupuk kompos”.
Untuk mengolah dan menghasilkan pupuk kompos ini, Eti rela mencari sayur-sayuran busuk ke pasar yang berada di dekat rumahnya. Tiap kali ke pasar, ia tak lupa meminta ‘jatah’ kepada pedagang sayur, agar memberinya sayur busuk. Setiap pulang dari pasar, Eti yang pernah menjabat sebagai ibu RT ini, selalu membawa satu kantong plastik hitam besar berisi sayur busuk.
Awalnya, para pedagang heran melihat kebiasaannya yang sering meminta sayur busuk. Namun, setelah tahu alasannya, kini para pedagang malah senang dimintai sayur busuk oleh Eti. Karena membantu mengurangi sampah para pedagang.
“Bang, minta dong sampahnya (sayur busuk).’Pedagangnya heran gitu. ‘Buat apa bu?’ Buat bikin kompos,”kata Eti.
Setelah tiba di rumah, ia memotong-motong sayuran tadi lalu dimasukkan ke dalam tong kompos. Ditambahkan sedikit air beras cucian pertama dan gula jawa, kompos pun diproses selama beberapa hari. Sampah sayur yang dihasilkan keluarga Eti pun, juga ia komposkan. Selain berguna, juga mengurangi beban tukang sampah.
“Sehari semalam saja ditaruh dalam tong dan ditutup, sayur busuknya sudah mengeluarkan air,” ujar Eti ketika saya tanya soal pupuk kompos yang ia buat.
“Saya nggak jijik,” tambahnya.
Karena pekarangan rumah Eti tak memadai, kompos cair yang ia buat, ia letakkan di depan kantor Sekretariat RW 02. Dari rumah Eti menuju kantor tersebut, cukup dengan berjalan kaki. Nah, karena kantor RW ini adalah tempat umum, masalah lain muncul. Seringkali tong untuk komposting itu dikira warga adalah tempat sampah. Jadi, ada warga yang membuang sampah non organik ke tong tersebut.
Suatu hari, saat Eti mengecek komposnya, ia kaget melihat ada bekas botol kemasan dan kotoran kucing di dalamnya.
“Waktu aku buka tutup wadahnya, eh, ada sampah. Sudah tahu itu komposting, masak kagak ngerti. Jadi aku tulisin aja. ‘Jangan buang sampah atau kotoran di sini, ini tempat kompos sayuran’ Besoknya gak ada lagi sampahnya, hahaha” ujar Eti.
Eti Mulyati |
Eti, sehari-hari mengajar di Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) "Anyelir" dan Ketua Kelompok Kegiatan II (Poktan II) di RW 02 Rawasari. Meski sudah tak muda lagi, tapi keaktifan dan semangatnya luar biasa untuk menghijaukan kampung. Saat menjelaskan kepada saya tentang kampungnya dan apa yang telah dilakukannya selama ini pun, penuh semangat.
Selain Eti, ada sekitar empat orang ibu-ibu lainnya di RW 02 yang membuat pupuk kompos cair. Saat ada pertemuan di kantor RW atau acara Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), akan diumumkan kepada warga, di mana saja bisa mengambil kompos untuk menyiram atau menyuburkan tanaman warga.
“Ibu-ibu yang ingin mengambil kompos cair, akan diberi seukuran satu botol air kemasan 1 liter. Saat mereka akan menggunakannya ke tanaman, air kompos tadi akan ditambah lagi dengan air setengah ember. Karena air kompos yang diambil adalah biangnya. Bagus airnya,”jelas Eti.
Selain untuk diberikan kepada warga, Eti juga menggunakan kompos untuk tanamannya. Karena teras rumah Eti kecil, jadi ia hanya menanam di pot. Tapi jumlahnya banyak lho. Keterbatasan lahan, tak membuat nyalinya surut. Eti pun tak kehabisan akal. Ia meminta izin pada tetangganya untuk numpang menaruh pot-potnya di atas pagar tetangga.
“Nah, ini rumah saya. Kecil. Makanya saya numpang naruh pot di atas pagar rumah tetangga,” ujar Eti saat saya melintas di depan rumahnya.
Di teras rumah Eti, saya hanya melihat sekitar 2 atau 3 pot saja. Selebihnya, puluhan tanamannya, ia taruh di atas pagar beton tetangganya. Ada lidah buaya, pohon kunyit, sirih, jeruk, kamboja dan lain-lain.
“Senang bisa memetik tanaman sendiri. Kalau nanam cabe, bisa metik cabe, kalau nanam limau, ya bisa petik limau,” ucap Eti.
Nah, ini dia tanaman Eti yang ditaruh di pagar rumah tetangga |
Selain membuat kompos dari sayuran-sayuran busuk, Eti dan warga lainnya; salah satunya Maysri Rahayu, juga membuat kocing alias kompos cacing. Sudah bisa ketebak dong, yang namanya kompos cacing, ya harus berteman dengan cacing.
Maysri, menunjukkan kocing yang ia buat. Ia menaruh cacing di dalam wadah plastik yang bercampur dengan tanah. Di atas tanahnya, ditaburi potongan-potongan sisa sayur untuk makanan cacing. Selain dedaunan sayur, tomat busuk juga bisa digunakan untuk makanan cacing.
“Nah, ini nih cacing-cacingnya, mau lihat gak?” kata Maysri sambil mengeluarkan cacing-cacing yang tengah menggeliat manja dari timbunan tanah dan sayur-sayuran itu.
Panjang cacing yang dipelihara sekitar 10 centimeter. Selama dalam proses, cacing tersebut akan berkembang biak dan menguraikan sampah organik dan menghasilkan kotoran. Nah, kotoran itulah yang menjadi pupuk.
Kocing alias kompos cacing yang diolah Maysri |
Kompos cacing dapat menyuburkan tanaman, karena kaya bahan organik sehingga memiliki tingkat aerasi yang tinggi dan cocok untuk dijadikan media tanam.
Apapun yang bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman dan menghijaukan kampung, akan dilakukan para ibu-ibu yang ada di kampung ini. Tak heran saat saya bertandang ke sini, tiap pekarangan rumah dihiasi dengan tanaman atau pepohonan. Ada yang ditanam dalam pot atau polybag, ada pula yang tumbuh subur menjelma menjadi tanaman besar atau pohon nan rindang. Kampung ini pun jadi rimbun.
Suasana Kampung Rawasari RW 02, Cempaka Putih Jakarta Pusat |
Keliling Kampung RW 02 Rawasari
Selain bertemu dengan Eti dan May, saya juga bersua dengan Siti Wachildah (55). Perempuan yang akrab dipanggil Hilda ini adalah Ketua RT 02 pada RW 02 Rawasari Jakarta Pusat. Sebagai ketua RT, juga Ketua PKK RW 02, dan merangkap pula ketua PAUD setempat, tentu saja Hilda ikut berperan dalam menghijaukan kampungnya. Ia juga mengajak warga agar lebih peduli dengan penghijauan dan kebersihan.
“Saya berdua dengan Eti, kadang menelusuri kampung, melihat-lihat kalau ada sampah atau puntung rokok yang dibuang warga saat berjalan kaki atau dari orang yang mengendarai motor. Jika terlihat ada warga yang merokok dan buang puntung sembarangan, akan kami tegur.’Eh, jangan merokok di sini ya, janji ya’. Sembari tertawa, Hilda menceritakannya.
Untuk lebih mengenalkan kampung ini, Hilda dan Eti pun mengajak saya berkeliling kampung. Selama menelusuri kampung, mereka menjelaskan tanam-tanaman apa saja yang ditanam di pekarangan rumah warga. “Nah, ini ada buah tin, ini bisa buat obat, lho” ujar Hilda. “Nah, ini ada tanaman kunyit,” celetuk Eti.
Kampung Rawasari RW 02 |
Saya pun melihat ada tanaman yang merambat di pagar rumah dan dinding rumah, ada yang potnya dicat dengan warna seragam.
Ada pula yang menaruh potnya bergelantungan di atas tali atau besi. Ada yang menaruh pot tanaman di tatakan besi di antara belokan gang. Kampung ini pun jadi lebih indah.
Jalan yang ada dikampung ini, memang tak lebar. Sekitar satu hingga dua meter. Cukup untuk dua atau tiga orang berjalan sejajar. Namun, jika ada motor atau orang lain yang melintas lawan arah, maka salah satu dari kami ya harus mundur, hehehe. Ya, memang jalanannya gang per gang. Namun di tiap belokan gang, ada banyak tanaman-tanaman lain yang kami jumpai.
Salah satu gang di RW 02 Rawasari |
Suasana gang |
Di salah satu simpang gang, kami sempat berhenti sejenak, saat melihat di depan pekarangan rumah warga, ada yang menanam kangkung pada bekas plastik air kemasan. Wadah plastik itu ditaruh dalam ember besar berisi air dan di dalamnya ada ikan lele.
Saya pikir, kangkung itu akan menjadi makanan lele, ternyata, air dari kotoran lele itulah yang menjadi pupuknya kangkung, hehehe. Seru!
Nah, ini tempatnya si lele. Nongol sedikit kepala lelenya, hehehe |
Di Kampung ini pun saya menemukan bunga yang belumnya pernah saya lihat sebelumnya. Atau saya yang memang kudet, hehehe. Bunga ini bentuknya cantik dan bewarna pink. Setelah saya cari tahu, namanya bunga Eforbia.
PAH (Penampungan Air Hujan) |
Eti saat menjelaskan soal PAH (Penampungan Air Hujan) |
Agar saluran air lancar dan menghindari banjir, lubang biopori atau lubang resapan air pun dibuat di beberapa selokan. Nah, karena terbatasnya lahan di tempat ini, maka jarang ditemukan jalan yang masih ada tanahnya. Semua jalan atau gang yang ada di kampung ini, rata-rata sudah diaspal oleh pemerintah. Itu sebab, mengapa lubang biopori akhirnya dibuat di selokan.
Selain biopori, banyaknya tetanaman di kampung ini, juga berperan menghalau banjir. Di masing-masing titik pengkolan pun, terlihat beberapa kotak sampah, agar warga tak membuang sampah sembarangan ke selokan misalnya, karena itu bisa menyumbat saluran air.
“Alhamdullilah, di sini gak pernah banjir,” kata Hilda senang.
Eti dan Hilda menunjukkan lubang biopori kepada saya dan Arlindya (rekan blogger; tengah) |
Semakin masuk ke dalam kampung, sayup-sayup terdengar suara deru mesin kereta api. Oh, rupanya ada kereta yang sedang lewat. Di sebelah sisi kanan kampung ini, ternyata berada di dekat rel kereta api. Saat saya keluar melalui salah satu pintu gang, langsung tersambung dengan jalan raya. Dan disamping jalan raya terlihat rel kereta api.
Nah, di jalan raya ini, yang juga merupakan gerbang untuk masuk ke Kampung Rawasari RW 02, ada papan mading (majalah dinding) yang dipajang di sisi jalan. Hilda dan Eti menjelaskan, mading itu berisi kegiatan-kegiatan yang dilakukan kampung ini. Semisal acara PKK, gotong royong, 17 Agustusan, kegiatan bersama CSR perusahaan dan lain-lain.
Hilda dan Eti di Tengah Kampung Rawasari
Hilda dan Eti, sejak kecil sudah tinggal di kampung ini. Bisa dikatakan, dua perempuan ini memang orang asli kampung ini. Tapi, menurut Hilda, mereka justru baru saling mengenal sekitar tahun 2008. Kegiatan PKK-lah yang mempertemukan mereka.
Menurut Hilda, dari ia kecil, warga kampung ini sudah rajin menanam, termasuk kedua orangtuanya, yang akhirnya menurunkan kebiasaan hijau itu kepada Hilda.
Meski begitu, dulu, tentu keadaannya tak sehijau seperti saat ini. Belum terlalu banyak tetanaman yang menghias tiap rumah warga, tak banyak tong-tong sampah, lubang biopori pun mungkin masih jarang.
“Dulu, kampung ini biasa kayak kampung-kampung lain, banyak tanah kosong,” kata Eti.
Gang bersih dan hijau |
Kampung ini mulai tambah berseri dan hijau sejak sekitar 2008. Di tahun itu pula, Eti dan Hilda mulai semakin rajin menanam. Bermula seringnya kampung ini mengikuti perlombaan 10 program pokok PKK yang diselenggarakan antar kelurahan, kecamatan, provinsi bahkan tingkat nasional. Gotong royong, pangan, sandang, dan kelestarian lingkungan hidup, adalah salah satu dari 10 program PKK tadi.
Dari situ, warga tergerak untuk saling berlomba menghijaukan kampung. Ada rasa bangga tentu, jika kampung mereka terpilih karena kebersihan, lingkungan yang sehat, penghijauan, gotong royong dan kekompakan. Perjuangan warga pun tak sia-sia, kampung ini jadi langganan pemenang lomba 10 program PKK antar kelurahan dan kecamatan.
10 program pokok PKK |
Tak cuma jago kandang, kampung ini pun sukses unjuk gigi dengan menyabet Juara Dua Lomba 10 Program PKK Tingkat Nasional, pada 2009. Di tahun selanjutnya, meraih Juara Lomba Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PHBS tingkat Provinsi DKI Jakarta.
Kata Hilda, karena seringnya memenangi perlombaan, pihak penyelenggara pun tidak memperbolehkan lagi kampung ini ikut lomba program PKK selama dua tahun. Pengurus PKK RW 02 pun mematuhinya. Mereka vakum tak ikut lomba PKK selama waktu yang ditentukan.
Setelah dua tahun berlalu, kampung ini tetap menunjukkan kemajuannya dengan kembali mengikuti lomba yang sama. Eh, menang lagi. Perjuangan Hilda dan warga kembali berhasil meraih Juara 2 (lagi) pada lomba 10 Program PKK tingkat nasional pada 2012.
Selain itu, kampung ini pun pernah merebut Juara 1 lomba Tertib Administrasi pada 2012 tingkat DKI Jakarta.
Karena prestasi-prestasi itu, kampung ini pun menjadi percontohan keberhasilan program PKK dan kampung hijau. Beritanya pun telah tersiar ke luar Jakarta. Ini bisa dilihat dari banyaknya tamu daerah lain yang berkunjung. Ada yang datang dari Balikpapan, Lampung, Solo dan lain-lain. Termasuk menerima kunjungan dari saya, hehehe...
“Tamu yang datang, ingin melihat bagaimana program-program PKK itu dijalankan di kampung ini, dan salah satunya untuk melihat penghijauan di kampung ini,” jelas Hilda.
Hilda dan Eti |
Pertemanan Eti dan Hilda yang kompak dan sama-sama peduli terhadap lingkungan, membuat mereka sering terlibat bersama dalam kegiatan. Sebagai salah satu pengurus kampung, Eti dan Hilda lah yang sering menerima kunjungan tamu-tamu dari daerah itu.
Kalau ada tamu yang datang, Hilda akan menghubungi Eti, agar bisa bersama-sama menemani dan menyambut tamu, sambil menjelaskan tentang kampung mereka. “Sudah kayak lem kita,” kata Eti diselingi tawa kecil.
Semangat Eti dan Hilda mengajak warga untuk menghijaukan kampung terus berlanjut sampai sekarang. Saat waktu lengang, mereka berdua menyusuri kampung untuk memantau kondisi kampung. Bahkan, kini pertemanan mereka dipupuk dengan satu tujuan dan semangat yang sama: membuat kampung makin berseri.
Untuk membuat kampung ini makin bersih dan berseri, kegiatan gotong-royong pun rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Meski begitu, kata Eti, ada saja warga yang malas-malasan untuk menanam. Namun, tak ada paksaan bagi mereka yang tak mau peduli bagi penghijauan kampung.
“Itu kembali kepada orangnya. Tapi, meski ada yang malas-malasan untuk menanam atau menghijaukan, tapi tetap dikerjakan (menanam) juga,” kata Eti
Kalau ada tamu yang datang, Hilda akan menghubungi Eti, agar bisa bersama-sama menemani dan menyambut tamu, sambil menjelaskan tentang kampung mereka. “Sudah kayak lem kita,” kata Eti diselingi tawa kecil.
Semangat Eti dan Hilda mengajak warga untuk menghijaukan kampung terus berlanjut sampai sekarang. Saat waktu lengang, mereka berdua menyusuri kampung untuk memantau kondisi kampung. Bahkan, kini pertemanan mereka dipupuk dengan satu tujuan dan semangat yang sama: membuat kampung makin berseri.
Untuk membuat kampung ini makin bersih dan berseri, kegiatan gotong-royong pun rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Meski begitu, kata Eti, ada saja warga yang malas-malasan untuk menanam. Namun, tak ada paksaan bagi mereka yang tak mau peduli bagi penghijauan kampung.
“Itu kembali kepada orangnya. Tapi, meski ada yang malas-malasan untuk menanam atau menghijaukan, tapi tetap dikerjakan (menanam) juga,” kata Eti
Kampung Berseri Astra
Hijaunya kampung ini, mendapatkan sorotan dari PT Astra Internasional Tbk. Perusahaan ini pun meliriknya untuk membuatnya makin berseri. Apalagi kampung ini sudah menerapkan 4 pilar yang digagas Astra. Selain menerapkan pilar lingkungan; pilar lain seperti kesehatan, kewirausahaan dan pendidikan juga sudah dilakukan kampung ini.
Untuk menambah semangat warga, pada 2015, Astra mulai memberikan bantuan untuk keperluan warga dan penghijauan kampung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya. Di tahun itu pula, kampung ini menjadi “Kampung Berseri Astra”.
Hijaunya kampung ini, tak cuma bisa dijumpai saat melintas di depan rumah warga. Di depan kantor RW 02, juga ada penghijauan. Tetanaman organik yang ditanam di media paralon bisa dinikmati di sini. Penampakannya sekilas mirip perkebunan hidroponik, tapi bukan. Kangkung, pokcay, selada, kelor, toga dan lain-lain di tanam di kebun ini. Mereka menyebutnya “Kebun Sayur Organik”
Hijaunya kampung ini, mendapatkan sorotan dari PT Astra Internasional Tbk. Perusahaan ini pun meliriknya untuk membuatnya makin berseri. Apalagi kampung ini sudah menerapkan 4 pilar yang digagas Astra. Selain menerapkan pilar lingkungan; pilar lain seperti kesehatan, kewirausahaan dan pendidikan juga sudah dilakukan kampung ini.
Untuk menambah semangat warga, pada 2015, Astra mulai memberikan bantuan untuk keperluan warga dan penghijauan kampung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya. Di tahun itu pula, kampung ini menjadi “Kampung Berseri Astra”.
Hijaunya kampung ini, tak cuma bisa dijumpai saat melintas di depan rumah warga. Di depan kantor RW 02, juga ada penghijauan. Tetanaman organik yang ditanam di media paralon bisa dinikmati di sini. Penampakannya sekilas mirip perkebunan hidroponik, tapi bukan. Kangkung, pokcay, selada, kelor, toga dan lain-lain di tanam di kebun ini. Mereka menyebutnya “Kebun Sayur Organik”
Kebun Sayur Organik |
Eti dan Hilda jugalah yang menanam dan mengurus sayur mayur organik itu. Saat saya ke sana, sayur-mayurnya baru mau merekah dan tumbuh.
“Bibit kangkung, pokcay, kelor, selada, kelor, ini dikasih sama Astra, sama tempat (paralon) untuk menanamnya juga . Ini baru 2 kali panen, “ kata Eti.
“Saya senang bertanam, dengan adanya bantuan dari Astra, jadi tambah semangat,” tambahnya.
Selain bibit-bibit yang ada di kebun sayur organik ini, menurut Eti, Astra juga memberi bibit sayur katuk, sirih, lidah buaya untuk dibagikan kepada warga.
Waktu pertama melihat Kebun Sayur Organik Astra ini, terlintas di hati saya: “Gak takut apa ya menanam di tempat umum seperti ini? Ntar, yang menanam siapa, eh yang menikmatinya siapa?” Hahahha.
Ternyata, dengan melihat hijaunya kampung ini, tentu saja Eti dan Hilda tak perlu takut kalau sayurnya bakal dipetik orang, la wong masing-masing rumah banyak yang menanam sayur atau tanaman buah, hehehe.
“Siapapun boleh saja mengkonsumsi atau memetik sayur organik ini,” ujar Hilda.
Oh ya, kantor RW ini serba guna lho. Selain tempat pertemuan warga, kantor ini juga sekaligus digunakan sebagai kantor sekretariat PKK, PAUD, Posyandu dan kegiatan lainnya.
Ketua RW 02 Kelurahan Rawasari, Ahmad Fadilla, yang saat itu ikut menemui saya di kantor RW, menerangkan, kalau RW yang dipimpinnya ini membawahi 14 RT. Semua RT, menanamkan konsep yang sama. Hijau. Astra pun sangat mensupport pelestarian kampung ini.
“Selain memberi pot, tanaman, pupuk dan bibit, Astra juga memberikan bantuan alat membuat lubang biopori, dan tempat penampungan air hujan (PAH) yang digunakan untuk menyiram tanaman. Astra juga memberikan timbangan untuk posyandu, timbangan sampah, alat-alat kesehatan, lemari dan lain-lain,” papar Ahmad.
Meski sangat mendukung pelestarian lingkungan, Astra tak pernah memberikan bantuan berupa uang, tapi memberikan bantuan dalam bentuk lain.
“Misalnya nih, saat Ramadan tadi, Astra memberikan 500 kantong paket sembako. Satu kantong yang semestinya harganya Rp 150 ribu, tapi dijual Rp 50 ribu. Uang hasil penjualan sembako murah tadi digunakan untuk kepentingan warga. Misalnya untuk perawatan lingkungan, posyandu, pendidikan (bea siswa), santunan anak yatim dan lansia dan lain-lain,” jelas Hilda.
Astra juga mendukung bank sampah yang ada di kampung ini. Kantong-kantong untuk menampung sampah an-organik, seperti plastik bekas, plastik bekas sachet dan sejenisnya juga diberikan Astra untuk memudahkan warga mengumpulkan sampah.
Di depan kebun sayur ini adalah kantor Sekretariat RW 02 Rawasawari, sekaligus sekretariat PKK dan PAUD Anyelir |
Untuk mencari sampah, ibu-ibu yang bergabung dalam tim PKK akan menyambangi rumah demi rumah untuk mencari warga yang ingin memberikan “sumbangan” bank sampah.
“Setelah kantong besar itu penuh, plastiknya dijual ke pemulung atau pengepul. Uangnya disimpan untuk keperluan warga. Tiga kali seminggu ditimbang. Timbangan sampah juga dikasih sama Astra,” ujar Hilda sembari menunjukkan timbangan sampah.
Sampah plastik kemasan yang dikumpulkan, tak hanya dijual, ada pula warga yang memanfaatkannya untuk dijadikan semacam taplak meja atau sejadah.
Nah, ini salah satu karya warga dari bekas plastik sachet kemasan |
Rumah Berseri Astra
Selain mencari Kampung Berseri, Astra juga mencari Rumah Berseri. Nah, di kampung ini pun punya Rumah Berseri. Astra menetapkannya pada 2017 lalu. Eti dan Hilda menunjukkan rumah berseri itu kepada saya. Tempatnya tak jauh dari kantor sekretariat RW tempat kami berkumpul sebelumnya.
Di pekarangan rumah berseri ini, banyak sekali tanaman TOGA atau Tanaman Obat Keluarga. Ada sirih merah, sirih hijau, jahe merah, kunyit, kencur, zodia, katuk, salam koja, pandan, tin, ceremai, kelor, dan tanaman toga lainnya.
“Rumah ini ditetapkan Astra sebagai Rumah Berseri Astra, karena banyak menanam toga,” ujar Hilda.
Sang pemilik rumah, Surtinah, sedang berada di Solo, saat kami mampir ke sana. Meski si empunya rumah tak ada, namun ia tidak mengunci pagar rumahnya, sehingga kami bisa masuk ke pekarangan rumah dan melihat banyaknya TOGA yang ia tanam.
“Sejak remaja saya senang menanam karena naluri. Dengan menanam, udara di rumah jadi dingin, peresapan air jadi bagus biar tidak banjir. Rumah saya hanya dikasih paving blok, sehingga resapan air lancar dan menjadikan hawa disekeliling rumah jadi adem. Dan ini sudah pasti bisa mengurangi pemanasan global,” ujar Surtinah saat saya menelponnya.
Surtinah di pekarangan rumahnya yang dikelilingi toga (Ia mengirimkan foto ini pada saya via WA) |
Karena banyaknya toga yang ia tanam, ada beberapa warga yang meminta tanamannya untuk obat, seperti sirih merah dan sirih hijau.
Sama seperti Eti yang saya ceritakan di awal, Surtinah pun membuat pupuk kompos sendiri. Kalau Eti membuat kompos cair, Surtinah membuat pupuk kompos padat.
Sampah kering dan sampah basah ia pisahkan mulai dari dapur. Sampah basah seperti dedaunan, sisa sayur, sisa nasi atau nasi basi, ia kumpulkan lalu ditimbun di komposter dan ditambah tanah. Kalau sudah mau jadi, atau prosesnya sudah mulai membusuk dan kering, akan dipindahkan ke tong sampah yang satunya lagi. Setelah itu, barulah dicampurkan ke tanaman. Menurut Surtinah, proses ini memakan waktu sebulan.
Meski membuat pupuk kompos sendiri, Surtinah pun kadang meminta kompos cair dari Eti. “Kadang Eti menawarkan kompos cairnya, ia menawarkan via WA’ ujarnya.
Sama seperti Eti yang saya ceritakan di awal, Surtinah pun membuat pupuk kompos sendiri. Kalau Eti membuat kompos cair, Surtinah membuat pupuk kompos padat.
Sampah kering dan sampah basah ia pisahkan mulai dari dapur. Sampah basah seperti dedaunan, sisa sayur, sisa nasi atau nasi basi, ia kumpulkan lalu ditimbun di komposter dan ditambah tanah. Kalau sudah mau jadi, atau prosesnya sudah mulai membusuk dan kering, akan dipindahkan ke tong sampah yang satunya lagi. Setelah itu, barulah dicampurkan ke tanaman. Menurut Surtinah, proses ini memakan waktu sebulan.
Meski membuat pupuk kompos sendiri, Surtinah pun kadang meminta kompos cair dari Eti. “Kadang Eti menawarkan kompos cairnya, ia menawarkan via WA’ ujarnya.
Sudut Rumah Surtinah yang dipenuhi toga |
Tak seindah rerimbunan toganya, Surtinah yang pernah menjadi Ketua PKK RW 02 Rawasari selama 3 periode ini, juga menemukan tantangan dalam menggalakkan toganya.
“Toga sering sulit hidup, karena tanamannya kecil-kecil, harus sering dicongkel-congkel tanahnya. Apalagi kelor, kalau untuk penanganan pertama agak sulit, digelayuti kucing, patah. Aku nanam lewat stek batangan, sulit juga. Dari biji juga susah. Ini saya taruh kelornya di bawah matahari biar hidup, setelah itu saya pindahkan lagi. Karena batangnya rapuh, kalau kelornya sudah jadi, aku akan pindahkan ke tanah,” jelasnya.
Kelor yang ditanam Surtinah, salah satunya adalah bibit yang ia terima dari Astra. Sedangkan bibit tanaman lainnya, ia membelinya dari pedagang.
Meski usianya sudah 65 tahun, semangat Surtinah tak pernah pupus untuk menyuburkan toga-toganya. “Sampai seterusnya saya akan menanam toga,” ujarnya semangat.
Di depan rumah berseri ini, saya juga melihat ada lubang biopori, PAH, dan mural (lukisan di dinding). Mural ini adalah salah satu lomba yang diselenggarakan oleh Astra untuk seluruh Kampung Berseri Astra di Jakarta. Lomba diadakan dalam rangka memeriahkan 17 Agustusan pada 2017 lalu.
Menurut Hilda, mural buatan mahasiswa UNTAR Jakarta ini menggambarkan tentang kampung RW 02 Rawasari. Ada pasar (kampung ini berdampingan dengan pasar) ada tetanaman, ada pula ikon yang sedang menyapu halaman. Meski mural yang mereka buat tidak menang, tapi lukisan dinding ini menjadi penyemarak kampung. “Sayangilah Lingkungan Kita” satu pesan yang ditulis pada mural itu.
Hilda sedang menjelaskan soal mural |
Penghargaan dan Harapan
Karena komitmen warga yang begitu memerhatikan lingkungan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun memberikan penghargaan kepada kampung ini sebagai “Kampung Iklim Tingkat Provinsi DKI Jakarta pada 2017” . Penghargaan ini dalam rangka pelaksanaan Apresiasi Lingkungan Hidup.
Karena apresiasi itu, kampung ini juga mendapat pembinaan dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Salah satunya diberikan pelatihan budidaya jamur, budidaya cacing untuk kocing (kompos cacing) dan lain-lain.
Setelah ditetapkan menjadi Kampung Berseri Astra, tim dari Astra rajin menyambangi kampung ini untuk memberikan bantuan dan pembinaan kepada warga. Salah satunya memberikan pembinaan tentang keterampilan, penyuluhan kesehatan atau dengan memberikan dongeng di PAUD.
“Saya berharap, kampung ini tambah maju, tambah asri dan kegiatan KBA Rawasari RW 02 tambah banyak dan berhasil,” ujar Hilda Semangat.
Kurangnya Pegiat KBA Rawasari
Fasilitator dari Astra yang membina KBA Rawasari, Ita, mendampingi kampung ini dalam menjalankan program kampung Iklim atau proklim. Tujuannya, agar program lingkungan yang sudah digalakkan bisa cepat tercapai. Untuk pemantauan dan pembinaan, kurang lebih satu bulan sekali Ita mengunjungi kampung ini.
“Dalam pembinaan, kami mengacu pada program kampung iklim. Adaptasi, mitigasi dan perubahan iklim” ujar Ita.
Soal adaptasi, kata Ita, adalah bagaimana tentang ketahanan pangan dan bagaimana masyarakat menyesuaikan atau siaga kalau ada bencana seperti banjir. Sedangkan program mitigasi, adalah bagaimana masyarakat bisa mengolah limbah padat, limbah cair dan penghijauan.
Meski Kampung ini sudah menjadi Kampung Iklim Tingkat Provinsi DKI Jakarta pada 2017 lalu, namun belum mencapai prestasi tingkat nasional. Salah satu penyebabnya, menurut Ita, karena program yang dijalankan belum menyentuh hingga ke semua RT.
“Untuk saat ini, baru beberapa titik saja di Kampung Rawasari yang diupayakan tim untuk menuju Kampung Iklim. Harusnya 100 persen titik RT yang ada di sana melakukan program lingkungan,” katanya.
Ita menambahkan, sejauh ini, warga antusias menerima pembinaan dari Astra. Namun PR besarnya, adalah bagaimana bisa menggali lagi pegiat di KBA Rawasari, agar tak terbatas pada orang yang itu-itu saja.
Ibu-ibu pegiat KBA Rawasari (Foto dari IG @KBARawasari) |
Memang, pegiat lingkungan di KBA Rawasari ini, rata-rata adalah perempuan. Bahkan, Ketua RT-nya pun rata-rata adalah perempuan. Ini adalah keunikannya, sekaligus juga menjadi kekurangannya, karena hal ini bisa menimbulkan faktor ketimpangan.
“Untuk menjadi Kampung Iklim (tingkat nasional), dibutuhkan peran serta masyarakat yang banyak, kalau hanya ibu-ibu saja pegiatnya, bisa ada ketimpangan dan prosesnya akan berjalan lambat,” keluh Ita.
“Sulitnya merekrut pegiat usia muda adalah PR besar untuk KBA Rawasari. Kita lagi upayakan tahun depan bisa dapat pegiat yang lebih banyak lagi, agar lebih fokus” tambahnya.
Meski begitu, menurut Ita, untuk kegiatan posyandu dan lingkungan, kampung ini sudah menerapkannya dengan baik.
“Pengolahan sampah atau bank sampah sudah bagus, mulai dari pemilahan sampah. Meski belum bisa dibilang mereka mendapatkan nilai A, B atau C, tapi paling tidak mereka sudah memulai. Ketahanan pangan dan penghijauan juga sudah cukup banyak” ujarnya.
Bapak Asuh KBA Rawasari
Astra Isuzu yang ada di Jalan Pramuka, Jakarta, menjadi bapak asuh atau perwakilan Astra yang melakukan kegiatan monitoring di KBA Rawasari. Alasannya, menurut Manager CSR PT Astra International Tbk, Mohammad Taufan, Astra Isuzu punya bengkel di dekat KBA Rawasari, sehingga memudahkan pengontrolan.
“Kami memastikan Astra Isuzu memonitoring ke masyarakat (KBA Rawasari) secara intens, agar bisa terus berkomunikasi dengan masyarakatnya dan memberi laporan kepada kami,” tegasnya.
Menurut Taufan, Kampung Rawasari dipilih sebagai Kampung Berseri Astra, karena kegiatan di lingkungannya cukup tinggi atau sudah menerapkan kampung hijau dan komitmen besar dari pegiat lingkungannya.
“Astra hadir di sana untuk mempercepat cita-cita masyarakat. Kita ingin mempercepat agar kampung ini mencapai level bintang 5 di setiap pilarnya di level nasional,” jelas Taufan.
“Di bidang lingkungan, Rawasari sudah berhasil, karena sudah menjadi kampung iklim di level provinsi. Namun nilainya masih 4, belum 5. Dan masih ada PR lagi di bidang kewirausahaan. Masyarakat di Rawasari sudah seharusnya punya produk unggulan, entah kerajinan atau makanan, yang menjadi ciri khasnya. Itu yang sedang digali dan dieksplor masyarakat. Untuk skala massal perlu dikuatkan lagi,” tambahnya.
PAUD Anyelir yang ada di Rawasari pun, menurutnya, juga diberi pelajaran dengan tema lingkungan, misalnya memberi dongeng tentang sayur-sayuran. Tim Astra, pada akhir November lalu, memberikan dongeng di sana.
Banyaknya jumlah KBA Astra yang ada di seluruh Indonesia, menurut Taufan, bukanlah menjadi poin utama yang dikejar Astra. Namun, kini Astra fokus pada peningkatan kualitas, karena skenario terakhir dari KBA, menginginkan lokasi-lokasi tersebut menjadi mandiri secara finasial maupun mandiri dalam hal pendampingan.
“Mandiri secara finansial, misal selama ini mereka diberi bantuan dana sokongan dari CSR Astra, nah, akan kita kejar pada titik dimana suata saat mereka tak perlu lagi mengunakan dana dari Astra, tapi sudah bisa mandiri dengan kewirausahaannya, agar punya produk unggulan dan bisa memutar uangnya dari sana,” ucapnya.
Begitu juga kemandirian dalam hal pendampingan. Suatu saat, Taufan berharap, tanpa pendampingan pun, warga sudah ahli dalam bidang penghijauan atau pengolahan sampah.
“Ke depannya, kami mendorong agar KBA Rawasari menjadi Kampung Iklim tingkat Nasional,’ harapnya.
Kembali ke Kantor RW 02 KBA Rawasari.....
Senangnya bisa bertemu dengan pengurus Kampung Berseri Astra ini. Mereka menyambut saya dan Arlindya (rekan blogger yang menemani saya hari itu) dengan hangat. Kue-kuean, nasi soto dan teh botol-pun, mereka sajikan untuk kami, sambil ngobrol di balai-balai depan kantor sekretariat RW.
Saat kami ngobrol di depan kantor sekretariat RW 02 Rawasari |
Saya tak menyangka, dibalik gedung-gedung besar di kawasan Jalan Pramuka, tepatnya di perbatasan antara Jakarta Timur dan Jakarta Pusat, yang sering saya lalui, ternyata ada kampung yang begitu asri, hijau dan bersih. Warga sendiri yang mengelolanya.
Warga juga yang saling mensupport untuk menanam tanaman di masing-masing halaman rumahnya. Meski jalanannya tak begitu lebar, namun tak membuat warga malas menghijaukan kampungnya.
“Dirawat ya tanamannya,” bisik Hilda sembari memberikan tanaman kelor untuk saya sebagai kenang-kenangan, saat saya pamit pulang.
“Siyaaaaappppp, Buuu!!”
Kampung Berseri Astra RW 02 Rawasari, Jakarta |
Inspiratif.
ReplyDeleteSemangat dan hasil usahanya patut dijadikan contoh.
Tampilan kampung jadi asri, bersih juga asri.
Makasih Mas Himawan, mampirlah kapan-kapan ke kampung Rawasari, hehehe
DeleteSemoga banyak lahir ibu2 Eti di kampung lain ya Mbak.
ReplyDeleteAamiin, semoga banyak juga yang muda-muda sudah bergiat untuk lingkunga :))
Deleteasri banget ya dengan banyak tanaman gini.
ReplyDeleteYoi mas, bikin teduh mata dan betah menelusurinya :)
DeleteMantep banget. Suka liat kampung yang asri, penuh tanaman hijau. Kalo kayak gini udara pasti segar.
ReplyDeletetentunya.....karena kampungku gak hijau, jadi ketika main ke sini rasanya adem bingits...
DeleteIde yang sangat kreatif untuk kehidupan lebih baik.
ReplyDeleteTerima kasih Mas Bai, smeoag Kampung ini terpilih Menjadi Kampung Iklim Tingkat Nasional
DeleteKeren nih, ada kampung Rawasari ada juga Rawajati. Kenapa kampung hijau berasal dari Rawa ya? hahaha...
ReplyDeleteKonsep kampungnya keren, pegiatnya juga patut diapresiasi. Gak kalah keren dengan di Rawajati.
Iya Bang, mirip nama kampungnya Rawasari dan Rawajati, sama-sama hijau, hehehe....dan sama-sama punya pegiat lingkungan :))
Deleteinspiratif sekali
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tira :))
DeleteLuar biasa mbak, sangat menginspirasi. Saya juga tertarik untuk mengelolah sampah organik disekitar saya jadinya.
ReplyDeleteMakasih Mas Alek. Aku pun, begitu melihat semangatnya Ibu Hilda dan Eti, dan ibu-ibu pegiat lainnya, wah, patut deh dicoba bercocok tanam dan bikin pupuk sendiri. Semoga kesampaian :))
DeleteWah, ibu guru ternyata 😍 Salut deh sama ide dan perjuangannya. Aku jadi terinspirasi 😊
ReplyDeleteIya Indi, Ibu Eti dan Ibu Hilda guru PAUD di Rawasari. Guru yang menyebarkan penghijauan :)))
DeleteBu Eti bisa jadi inspirasi bagi warga lainnya ini. Inovsi dan ketekunannya bisa bermanfaat.
ReplyDeletesampah sayuran daripada dibuang bgitu saja ternyata bisa dimanfaatkan untuk pupuk kompos.
Yoi Mas Aldhi, kalau kita rajin, sampah jadi sesuatu yang berguna :))
DeleteThis common cause will help to create beauty in the place where they live and thereby improve the conditions for each resident, this is a very good initiative.
ReplyDelete