Dapur Si Ucu


Ucu sedang memasak.
Kaki saya harus berjalan perlahan-lahan ketika menginjak dapur tua itu. Jangan sampai lari-lari apalagi pake loncat-loncat. Karena, bisa saja kayu penyanggahnya runtuh, karena memang sudah rada rapuh. 

Rumah Si Ucu, gadis 30 tahun, yang saya datangi itu berada di sebuah perkampungan di salah satu daerah Sumsel. Sudah sekitar 15 tahun rumah kayu itu tegak dengan tegarnya, hasil dari menjual tanah dan kalung emas ibunya.
 
Masuk kedalamnya, saya tak menemukan perabotan mewah,  semuanya sederhana. Alat masaknyapun jauh dari kesan modern alias masih tradisiona.

Terlihat dari panci-panci, teko dan wajan jadoel, tergantung dengan manja di dinding dapurnya. Semuanya diselimuti warna hitam, tak hanya bagian “pantatnya” saja, tapi juga semua bagian tubuh panci, berlumur hitam, pekat, bekas asap. 

Ya, si empunya masih menggunakan kompor yang terbuat dari tanah liat, berbahan bakar kayu, ketika melakukan aktifitas memasak. Hasil dari bakaran kayu dengan api  merahnya, tentulah menghasilkan asap hitam pekat. Itulah yang membuat alat-alat masak yang ada di dalam rumah kayu itu, diselimuti hitam. 

Jika tersenggol dikit, bubuk hitamnya akan langsung menempel di kulit. Meski begitu, peralatan itu tetap dipakai setiap hari. Tak ada pilihan lain. Meskipun setelah dicuci, lantas dipakai lagi, ya akan berselimut hitam kembali. Bandingkan, jika kita memakai kompor gas atau kompor sumbu yang apinya berwarna biru dan tidak mengeluarkan asap, tentu pancinya tak akan hitam.

Oh panci, kenapa pantatmu hitam, apakah kau jarang mandi...?
Pajangan peralatan masak laiinnya seperti  panci-panci besar dan teko yang jarang terpakai, menghiasi dinding dapur kecil itu. Bahkan, beberapa diantaranya, ada peralatan model jadul. Seperti baskom aluminium berlurik hijau, atau perkakas hitam beraksen orange, seperti gambar yang saya pajangkan dibawah ini. Saya juga tak tau apa namanya. Tapi, itu juga termasuk peralatan atau wadah yang diperlukan jika ada hajatan.

Peralatan ini,  adakah yang tau apa namanya..?

Nah, ini baskom model jadul. kangen gak sama lurik ini..?
 
Pajangan yang ada didapur si Ucu..

Papan yang menjadi dinding dapur pun, terlihat tak utuh. Sudah berjarak/tidak rapat satu sama lain. Di dalam dapur, terdapat tumpukan ranting/kayu-kayu panjang yang sengaja disimpan tuk modal bahan bakar kompornya. 

Beginilah Dinding papan yang tak rapat dan tumpukan kayu dilantai

Nah, karena si Ucu menggunakan kompor berbahan bakar kayu, tentu ada kalanya api akan mengecil dengan sendirinya, karena kayu-kayunya perlahan habis dilalap api. Namun, ia mensiasatinya dengan menggunakan pipa besi sepanjang 40 cm,  utnuk meniup api agar kembali membesar. Satu hembusan saja, api pun kembali bergelora, berbarengan dengan kepulan asap yang  berebut keluar dari bawah wajan, gegara dahsatnya  hembusan  si Ucu. 

Sudut dapur si ucu...

Memasak nasi pun, masih ia lakukan langsung di panci. Tak ada kukusan, boro-boro rice cooker. Maklum, kalau mesti memakai alat elektronik untuk menanak nasi, pasti meteran listrik akan melonjak. Jadi, setiap hari, ia dan kakaknya harus rela menyantap nasi yang berwarna rada kecoklatan, sedikit bercampur kerak. Karena memasaknya tak menggunakan kukusan. Cuma diaduk-aduk saja, agar tak gosong.

Ucu, sedang beraksi...hehhee

Ya, dari kecil, Ucu dan keluarganya sudah terbiasa memasak dengan menggunakan alat masak tradisional dan masih ia pertahankan kebiasaaan tadi sampai sekarang. Ehm...mungkin,... bukan mempertahankan ya, lebih tepatnya, memang belum mampu untuk beli kompor (gas) baru, karena harus dibarengin dengan membeli gas. Hal itu tentu mahal baginya. Atau, kalau pun memakai kompor sumbu berbahan bakar minyak tanah, itu pun akan boros. Sementara, kalau bahan bakarnya hanya kayu, ia tak perlu memusingkannya, karena kakaknya, kebetulan memang bekerja sebagai pencari/penjual kayu.

Pedapuran Si Ucu..

Eits, tapi, sekitar dua minggu sebelum lebaran tahun ini, kakaknya membelikannya kompor gas lho,  lengkap dengan tabung gasnya. Namun, Ucu tak memakainya. “Itu tuh, kompor gas baru, tapi aku kok gak bisa ngidupinnya, sih. Aku ngeri memakainya”, begitu ia bercerita, ketika saya sedang menemaninya memasak.

Yey, kompor gas baruuhh..

Ya sudah, kalau takut, gak usah dihidupin, ntar ada apa-apa. Mending nunggu ada yang ngajarin aja”, begitu saran saya, yang sebenernya saya juga rada parno sih ngidupin kompor gas.. hihihihi..

coba lihat, disebelah kompor tanah liat, mejeng kompor gas baru si Ucu.

Ucu, bungsu dari 6 bersaudara, saat ini hanya tinggal bersama kakak laki-lakinya. Saudara-saudaranya yang lain sudah menikah semua dan punya kehidupan masing-masing, cuma mereka berdua saja yang masih lajang. Orangtuanya sudah lama tiada. Otomatis, yang menjadi “mesin” penggerak asap dapurnya, ya hanya mereka berdua. Dan, mesin itu tak boleh lemot atau berhenti, kalau tak mau menghadapi asap dapur tak lagi mengebul.

Kakaknya, setiap hari mencari kayu dan ranting di hutan. Kayu yang masih berbongkol panjang itu, lantas dipotong-potong seukuran 40 cm, dengan cara digergaji. Potongan-potongan kayu tadi, lantas ditumpuk jadi satu dan diikat, diletakkan di kerangkeng belakang rumah. Selanjutnya, kayu-kayu itu siap dijual di pasar yang tak jauh dari rumahnya, atau dijajakan ke rumah-rumah penduduk. Jadi, untuk kebutuhan kayu sebagai bahan bakar memasaknya, Ucu tak kuatir, karena ia sudah punya pasokan yang banyak.

Jejeran kayu yang tertumpuk rapi, di belakang dapur si ucu.

Suatu ketika, saya menginap di rumahnya.
Saya berdua dengannya tidur di dipan model jadul, yang posisinya langsung berhadapan dengan dapur, tanpa sekat. Tubuh kami hanya berselimut kain panjang biasa. Sesekali, nyamuk-nyamuk kecil “menghibur” kami, yang membuat saya terbangun untuk mengusirnya.

Jam 5 pagi, Ucu sudah terbangun. Bukan karena bangun terpaksa lho ya, seperti terbangun karena alarm, misalnya, (itu mah saya, hihihi), tapi, emang terbangun secara alami. Jam segitu ya ia bangun, karena sudah terbiasa. Memasak nasi, merebus air, dan membuat sarapan, langsung ia lakukan, pasca melek mata.

Jam 6 pagi, semuanya sudah beres. Ucu sudah menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Di atas meja makan kayu tanpa alas, sudah bertengger 3 piring dan 3 gelas beling kecil. Semua hidangan itu, ia tutup dengan piring/mangkuk  plastik. Aha, apa tuh yang ia hidangkan di pagi ini..?”, batin saya.

Ini dia hidangan sarapan pagi ala si ucu...

Setelah tutupnya dibuka, ouw, rupanya Ucu menyajikan 3 mi goreng instan di masing-masing piring, serta dua gelas teh manis panas dan  satu kopi hitam kental. Kopi itu untuk kakaknya. Lahap kami memakan masakan si Ucu. Meski cuma seporsi mi goreng, tanpa dibarengin cemilan laiinnya.

Ini dia penampakannya, setelah tutupnya dibuka
Ucu, menikmati sarapan paginya...

Jam 6.30 pagi, ia sudah harus berangkat kerja ke sebuah sekolah kejuruan, sekitar 500 meter dari rumahnya. Karena takut telat, setiap hari ia berangkat dengan memakai jasa ojek, yang ia bayar dua ribu rupiah sekali jalan. Murah bingiitss...? Iyalah,  kan Ucu tinggalnya dikampung, harga segitu mah masih mau diterima ojek. Tapi, kalau di Jakarta, kita ngasih harga segitu, bisa dihajar abang ojek, paling ringan, dituruni ditengah jalan, wkwkwkw... Tapi, pulang kerja, ia berjalan kaki berbarengan dengan teman-temannya yang lain. Hemat ongkos!

Sudah sekitar 5 tahun ini ia bekerja di tempat tersebut. Bukan sebagai guru pengajar tentunya, tapi ia bekerja di kantin sekolah. Melayani siswa-siswi yang jajan di sana saat sebelum pelajaran dimulai atau ketika waktu istirahat tiba, itulah tugasnya. Usai itu, ia berberes kantin. Mencuci piring dan menyapu, hingga kantin kembali terlihat bersih dan kinclong. Jam pulang kerjanya bervariasi, tergantung kesibukan kantin. Kadang, jam 1 siang ia sudah pulang, kadang juga jam 4 sore. 

Dari hasil kerjanya, setiap hari ia mengantongi sekitar Rp.25-000 hingga Rp. 30.000. Upahnya harian, bukan bulanan. Uang yang ia dapat perhari itu, ia simpan di bawah kasur. Ia tak punya rekening bank. Maklum, untuk membaca saja ia sulit, karena cuma mengenyam pendidikan sampai tingkat SD, boro-boro mau berurusan dengan pihak bank yang harus mengisi formulir ini dan itu, ritual saat membuka rekening.

Dari hasil keringatnya, salah satunya, ia belikan lemari plastik bertingkat. Yang terbaru, jelang lebaran ini, ia membeli kursi plastik 4 buah. “Kan ini lebaran, malu dong kalau ada tamu, tapi gak ada kursinya”, begitu alasannya kenapa ia harus membeli kursi. Maklum, sofa jadul peninggalan orangtuanya yang ada di ruang tamu, sudah rusak dan tak bisa digunakan lagi, jadi terpaksa harus membeli yang baru, meski cuma kursi plastik yang biasa dipakai untuk tamu kondangan. Sedangkan, untuk keperluan membeli beras, lauk pauk, dan printilan laiinnya, dilakukan bergiliran dengan kakaknya.

Sementara, untuk urusan dapur, Ucu-lah yang tetap berperan utama. Memastikan nasi sudah masak, air matang/panas sudah tersedia, untuk sarapan pagi ia dan kakaknya, sebelum ia berangkat kerja. Sesampai kembali di rumah, kegiatan beres-beres pun ia lakukan. Menyapu, cuci piring, dan memasak tuk makan malam. 

Ketika hari kembali beranjak Shubuh, ia pun melakukan lagi aktivitas yang saya ceritakan di atas tadi. Itulah runtutan kegiatannya setiap hari. Namun, ia santai saja. Meski capek setiap pulang kerja, tapi ia tetap bisa bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Jika ada tetangga yang mau hajatan atau nikahan, Ucu pun tak segan siap membantu, terutama membantu kesibukan urusan dapur. Meski, dapurnya sendiri, kadang tak dijumpai lauknya. 

Ucu, menyusun gelas di rak, usai mencuci piring..

22 comments

  1. wah sungguh berkesan ya mbak suka sama ceritanya mbak eka...setiap manusia punya cerita kehidupannya masing-masing ^-^ dan rejekinya masing" subhanallah.... ^-^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Angkis...iya rezeki dan kehidupan sdh diatur masing-masing, gak bakal ketuker ya...makasih kunjungannya.

      Delete
  2. klasik yah, suasana nya mengingatkan, 3 tahun yang lalu rumah nenek saya kayak gini, tapi sekarang udah direnovasi, jarang loh sekarang tempat yang kaya gini. nice post anyway! ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Irwan, sebenarnya kalau diperkampungan atau dusun di beberapa daerah, masih banyak lo ditemukan rumah kayu jadul, dg kompor yang jadul juga. Walau emang, sih tak sedikii jg yang sdh merenovasi rumahnya. Melihat rumah kayak gini, pasti mengembalikan nostalgia masa lalu ya, hehehe.. Makasib Irwan.

      Delete
  3. Wah ngomongin soal kompor kayu bakar, jadi ingat rumah kakek. Beliau punya pawon (tungku kayu bakar) yg setiap hari digunakan buat menanak nasi dan merebus air :))

    Ah jadi kangen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nenek kakek saya dikampung, plus uwak2 saya, pada jamannya, juga pake kompor kayu bakar mas. Saya juga kangen sama romansa tiup api, biar apinya lebih bergelora lagi, hihihi...

      Delete
  4. Walau jadul, air yang dimasak pakai kayu bakar itu rasanya beda deh. Menurutku lebih seger terus ada sensasi nya. Hihihi. Jadi pengen cobain pakai kayu bakar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mak grace..menurutku, justru rasa air yang dimasak dengan kayu bakar. itu rada anyep rasanya, karena airnya kemasukan asap dari kayu yang dibakar, saat sedang dimasak, jadi rasanya agak aneh .Itu sih kalu menurutku, hehehe... Tp, cobain aja masak pake kayu bakar., hehehe ..

      Delete
  5. wah...artikel yang bagus dan semoga saja indonesia jadi seperti dulu yaa ?
    lebih hemat biaya malah


    kunjungi blog saya juga ya ? http://musikanegri.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Reza... Wah, kalau Indonesia balik lagi ke jaman dulu dg memakai kompor kayu, emang sih lebih hemat, tapi saya rasa... orang-orangnya nih pada gak mau..., hehehehe....Makasih ya....

      Delete
  6. Engghhh, apa ya, orang2 seperti mba Ucu ini menurut saya, eksotis?? Keren deh mbak, sukaaa baca ulasan mbak Eka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mbak Nurul_BukanBocahBiasa...Iya..kalau di kehidupan perkampungan masih banyak yang ditemukan sosok seperti Ucu ini, plus kegiatan harian mereka yang msh tradisional ala kampung, hehehhe.. makasih ya...Oh ya... ntar kalau ketemu si ucu..aku bilangin kalau dia eksotis...hehehe

      Delete
  7. walopun sederhana tapi dapurnya rapi. Memasak dengan kayu sebetulnya rasanya lebih enak. Cuma memang lama matengnya dan bikin peralatan dapur jadi hitam :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak Myra/ Keke naima.... katanya sih begitu, lebih enak hasil masakan kayu bakar, tp resikonya ya...hitam semua, hihiihihi...

      Delete
  8. sangat berkesan ya mbak ,bisa untuk memotivasi diri kita agar lebih bersyukur dengan apa yang Tuhan telah titipkan,kalau boleh tahu itu daerah mana ya?,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mas Tiyang, terimakasih kalau ceritanya bs memotivasi. .Ini di daerah Sumsel, mas.

      Delete
  9. Mudah-mudahan Mbak Ucu semakin lancar rezekinya ya mak, supaya bisa tinggal di tempat yang lebih baik dan bagus, aamiin. Mak, aku juga sama lho dengan dirimu, parno nyalain gas :p hihi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin Mbak, mudah-mudahan Ucu dpt rumah bagus nantinya... Iya..ngeliat si tabung melon atau si tabung biru, rada deg-degan euy....terkadang malah merasa nyaman pake kompor sumbu aja, yang resikonya gak terlalu parah..hehhe..

      Delete
  10. Jamanku cilik ya masih pake Tungku api, sekarang semenjak konversi gas ya pakai gas terus,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kompor tungku api emang sejarah ya, asal muasal terciptanya alat masak..yg skrg sdh berubah menjadi modern, seperti kompor gas, kompor sumbu, bahkan kompor listrik.. nanti kira2 bakal ada kompor apalagi ya..?hehehe...Makasih mas Lukman..

      Delete

Hai,

Silahkan tinggalkan komentar yang baik dan membangun ya....Karena yang baik itu, enak dibaca dan meresap di hati. Okeh..