Banyak sekali tempat yang bisa didatangi jika ingin mencicipi cita rasa street food atau jajanan pinggir jalan. Mulai dari yang berjejer satu persatu atau terpisah, hingga berkumpul di suatu tempat. Apalagi di Jakarta, banyak euy pilihannya.
Ya, street food
hadir tak hanya hadir untuk orang kalangan menengah atau menengah
kebawah saja, tapi juga hadir untuk memuaskan lidah kalangan menegah
keatas. Ini bisa dilihat dari banyaknya jejeran atau parkiran mobil
mewah yang terlihat di tempat keramaian street food tersebut. Ada
yang berama-ramai bersama teman, keluarga, bahkan dua sejoli yang
sedang kasmaran pun menghiasi arena street food yang begitu menjamur
di Ibukota tercinta atau dibeberapa daerah lainnya.
Saya
yakin, anda yang tinggal di Jakarta pasti jarang melihat jajanan ini
berseliweran dijalan. Iya kan? Hanya ada di beberapa tempat saja.
Seperti di Monas atau di TMII, yang memang banyak pengunjung dari
luar kota.
Kerak Telor (Gbr:dapurkobe.co.id) |
Nah, tapi ketika
musim Pekan Raya Jakarta tiba dalam rangka memperingati Hari ulang
Tahun Jakarta, baru deh tuh menjamur pedagang kerak telor di
sepanjang jalan arah kemayoran, menyambut tamu-tamu yang hendak
menyambangi PRJ, yang hanya setahun sekali itu.
Itu dia maksud saya...!
Jadi tak ada alasan harusnya menyembunyikan kerak telor atau malas untuk menggeliatkannya. Dan harusnya gak keluar hanya setahun sekali, toh? Tapi, itulah yang terjadi.
Kenapa menjamurnya hanya setahun sekali sih? Dan kenapa harus
ketika ulang tahun Jakarta saja? Padahal makanan ini aset Jakarta
dan asli Betawi loh.
Kerak telor ini telah ada sejak zaman
penjajahan. Dahulu, kerak telor dianggap sebagai makanan mewah dan
hanya disajikan saat pesta oleh penduduk yang kaya atau pejabat
pemerintah. Kerak telor kemudian kian populer dan menjadi salah satu
makanan khas Betawi yang paling populer selain gado-gado, semur
jengkol, nasi uduk, rujak bebek, dan soto Betawi. Penduduk Jakarta
menganggap kerak telor sebagai jajanan, bukan menu utama yang biasa
dimakan bersama nasi.
Jadi tak ada alasan harusnya menyembunyikan kerak telor atau malas untuk menggeliatkannya. Dan harusnya gak keluar hanya setahun sekali, toh? Tapi, itulah yang terjadi.
Mungkin perlu perhatian dari pemerintah atau penggiat
UKM, agar bisa meluncurkan masakan–masakan itu tidak hanya
waktu-waktu tertentu saja, tapi setiap hari. Supaya, kita tidak
kehilangan khas atau identitas dari suatu daerah.
Kerak telor, adalah salah satu saja dari ratusan jenis street food
yang beredar di Jakarta dan daerah lain. Masih banyak jajanan khas
provinsi atau daerah lain, yang hanya muncul setahun sekali, hanya
kalau ada event-event tertentu saja.
Kalau seandainya
banyak jajanan khas dari daerah lain yang berseliweran di Jakarta
ini, wah…pastinya lebih banyak pilihan untuk menjelajah kuliner
street food Indonesia, yang tentu saja bisa menarik perhatian
wisatawan mancanegara dan dan lokal.
Street food jangkau semua kalangan
Tak hanya kawasan tersebut, di daerah lain pun seperti kawasan Rawamangun, juga berlimbah street food, terutama di kawasan jalan Jln. Balai Pustaka Timur Atau daerah sekitar pasar swalayan Tip Top. Nah, kalau yang ingin berburu kue-kuean... pasar subuh yang ada di Senen adalah salah satu jajanan kue-kuean yang terlengkap.
So, kalau lapar tak perlu susah untuk mencari tempat tuk mengenyangkan perut. Karena tenda-tenda yang menawarkan pilihan makanan terlalu banyak. Dari penjaja bakso, kue-kuean, sate, soto, nasi uduk lengkap dengan lauk pauknya, pempek, hingga rujak-rujakan.
Para penjajapun ada yang menghidangkan sajian dengan menggunakan gerobak, atau memasang satu unit tenda lengkap dengan meja dan kursi yang sudah dibawa dari rumah.
Nah, kalau di daerah rawamangun ini saya sering mampir kewarung bakso, tahu campur khas Surabaya, dan sate padang atau nasi uduk. Enak, tapi harganya terjangkau. Rasanya tak kalah dengan masakan restoran yang ada di dalam mall.
Ya, bagi saya sedap
atau tidak rasa masakan itu, bukan bergantung pada harganya, atau
tempatnya seperti apa. Tapi tergantung pada kelihaian sang juru
masak. Pernah saya makan direstoran mewah yang ada di mall, tapi
rasanya biasaa saja. Eh, pas makan jajanan pinggir jalan, dengan
masakan yang sama, nasi goreng atau bakso misalnya, kok lebih
enakan cita rasa pinggir jalan ya. Bisa request lagi. Misal kalau
kita mau minta tambahin kuah, atau dibanyakin mie-nya, hehehe..
Tapi, maksud saya dalam hal ini aneka hidangan yang ada dipinggir jalan, tak kalah bersaing dengan hidangan restoran mahal.
Street food yang bikin tak nyaman konsumen
Sayangnya……..
Tak hanya masalah penutup makanan saja. Tapi, juga faktor kebersihan tempat. Seringkali ketika kita duduk didalam tenda jajanan pinggir jalan, eh… mejanya yang kotor banget oleh debu atau sisa masakan lain sebelumnya yang tumpah disekitarnya, Belum lagi tisu- tisu yang berceran di bawah meja. Duh, jorok sekali khan. Ini dia kelemahan street food Indonesia. Gak yang ditempat murah, ataupun mahal. Faktor kebersihan kurang diperhatikan, Padahal, kalau ada bule, kan malu euy …..
Itu baru dalam hal kebersihan...
Belum lagi kalau
dalam penyajian makanan yang berkuah atau bersaus, seringkali
disajikan berlebihan, hingga memboroskan saus. Dan ini
mubazir. Padahal, untuk membuat satu botol saus tomat (yang asli, ya)
misalnya, dibutuhkan puluhan tomat sebagai bahan pembuatan. Nah,
kalau sausnya terbuang, sama saja artinya kita membuang tomat dengan
cuma-cuma.
Contohnya, Saya dan teman-teman pernah makan aneka masakan kepiting didaerah kelapa gading. Cita rasa dan tampilan masakannya, beuuh..., benar-benar menggiurkan. Masakan restoran kalah cuy.Tapi sayang, saus tomat yang dihadirkan begitu melimpah, hingga mubazir.
Selain itu, memilih menyantap jajanan pinggir jalan di warung-warung tenda, ya bearti harus siap menerima konsekuensinya bakal “terganggu” dengan adanya pengamen atau peminta sumbangan yang tiba-tiba muncul ditengah lahapnya menikmati hidangan. Atau, kita harus menerima kebisingan jalanan dengan deru-debu dan suara mesin motor dan mobil yang berseliweran disepanjang jalan.
Nah, kalau seandainya ada suatu tempat yang didesain special atau dikelola dengan baik, khusus untuk menempatkan para pedagang makanan jalanan itu, mungkin akan lebih tertata rapi dan elok. Misalnya ditempatkan di daerah ramai tapi tak terlalu berdekatan dengan jalan raya. Selain bisa menjadi ciri khas kawasan tertentu, juga bisa memudahkan orang untuk menuju ke suatu tempat yang semua masakan lengkap hadir disana.
Sumber :
-detik.com
-http://id.wikipedia.org/wiki/Kerak_telor
Ini pedagang kerak telor yang saya jumpai di JFFF Jakarta pada 2014 |
Street food jangkau semua kalangan
Nah,
aneka masakan kepiting ini misalnya, tempatnya boleh pinggir jalan, Tapi,
siapa yang datang kesana? Semua kalangan! Tak pernah sepi. Bahkan,
kalau kita datangnya agak kemaleman dikit/ telat, maka banyak menu
yang tak lengkap lagi alias sudah habis…Yuhuu..laris manisnya
masakan ini. Ini membuktikan bahwa, street food sudah punya pangsa
pasar/pelanggan tetap.
Daerah Kelapa
Gading, emang terkenal dengan kulinernya yang berjejer rapi
di sepanjang jalan, yang mulai beroprasi hanya ketika sore menjelang
malam hingga dini hari. Tinggal dipilah pilah aja mana yang sesuai
selera. Saya sedang menikmati sajian kepiting |
Tak hanya kawasan tersebut, di daerah lain pun seperti kawasan Rawamangun, juga berlimbah street food, terutama di kawasan jalan Jln. Balai Pustaka Timur Atau daerah sekitar pasar swalayan Tip Top. Nah, kalau yang ingin berburu kue-kuean... pasar subuh yang ada di Senen adalah salah satu jajanan kue-kuean yang terlengkap.
So, kalau lapar tak perlu susah untuk mencari tempat tuk mengenyangkan perut. Karena tenda-tenda yang menawarkan pilihan makanan terlalu banyak. Dari penjaja bakso, kue-kuean, sate, soto, nasi uduk lengkap dengan lauk pauknya, pempek, hingga rujak-rujakan.
Para penjajapun ada yang menghidangkan sajian dengan menggunakan gerobak, atau memasang satu unit tenda lengkap dengan meja dan kursi yang sudah dibawa dari rumah.
Nah, kalau di daerah rawamangun ini saya sering mampir kewarung bakso, tahu campur khas Surabaya, dan sate padang atau nasi uduk. Enak, tapi harganya terjangkau. Rasanya tak kalah dengan masakan restoran yang ada di dalam mall.
Saya & teman-teman ketika mencicipi street food |
Ehm, tapi
sebenarnya enak atau tidak enak suatu hidangan itu, ya tergantung
selera sih alias relatif. Tul gak ?
Tapi, maksud saya dalam hal ini aneka hidangan yang ada dipinggir jalan, tak kalah bersaing dengan hidangan restoran mahal.
Street food yang bikin tak nyaman konsumen
Sayangnya……..
Dalam kemasan atau hidangan street food yang kita temui, banyak yang
tidak memperhatikan faktor kebersihan. Banyak sekali jajanan siap
santap yang terbuka tanpa ditutup dengan plastik atau penutup
lainnya. Tentu saja ini memudahkan kotoran, asap dan polusi udara
lainnya hinggap di makanan tersebut. Apalagi di Jakarta, yang begitu
jahatnya dengan polusi udara yang hitam pekat itu. Beuih !
Tak hanya masalah penutup makanan saja. Tapi, juga faktor kebersihan tempat. Seringkali ketika kita duduk didalam tenda jajanan pinggir jalan, eh… mejanya yang kotor banget oleh debu atau sisa masakan lain sebelumnya yang tumpah disekitarnya, Belum lagi tisu- tisu yang berceran di bawah meja. Duh, jorok sekali khan. Ini dia kelemahan street food Indonesia. Gak yang ditempat murah, ataupun mahal. Faktor kebersihan kurang diperhatikan, Padahal, kalau ada bule, kan malu euy …..
Apalagi tisu yang
disiapkan pedagang, yang ditaruh di meja makannya kebanyakan adalah
tisu toilet,lo bukan tisu untuk makan. Nah, lo! Tisu toilet jelas
berbeda fungsi dan bahannya dengan tisu untuk makan, toh? Kebanyakan
tisu toilet yang dijual dipasaran dengan harga murah adalah tisu dari
bahan daur ulang.
Nah, tisu dari bahan daur ulang, menurut penelitian sering ditemukan beberapa jenis bakteri. So pasti, jika kita memegang tisu tersebut untuk mengeringkan tangan misalnya, maka bisa saja bakteri tersebut dapat ditransfer ke tangan setelah mencuci tangan sekalipun.
Nah, tisu dari bahan daur ulang, menurut penelitian sering ditemukan beberapa jenis bakteri. So pasti, jika kita memegang tisu tersebut untuk mengeringkan tangan misalnya, maka bisa saja bakteri tersebut dapat ditransfer ke tangan setelah mencuci tangan sekalipun.
Tapi, ehm...
berhubung tisu toilet harganya jauh lebih murah dari pada tisu makan,
yah jadi itulah yang para pedagang hadirkan.
Mungkin faktor-
faktor ini, yang harus diperhatikan pengelola
jajanan jalan. Kalau tempatnya bersih, tentu orang lebih betah,
tertarik dan ada lagi keinginan tuk kembali lagi bertamu ketempat
tersebut. Coba kalau orang udah trauma dengan suatu tempat, karena
kejorokan tempat atau makanan yang tidak bersih, pasti malas
mengunjunginya lagi. Iya kan?
Itu baru dalam hal kebersihan...
Contohnya, Saya dan teman-teman pernah makan aneka masakan kepiting didaerah kelapa gading. Cita rasa dan tampilan masakannya, beuuh..., benar-benar menggiurkan. Masakan restoran kalah cuy.Tapi sayang, saus tomat yang dihadirkan begitu melimpah, hingga mubazir.
Suasana JFFF Jakarta pada 2014 |
Selain itu, memilih menyantap jajanan pinggir jalan di warung-warung tenda, ya bearti harus siap menerima konsekuensinya bakal “terganggu” dengan adanya pengamen atau peminta sumbangan yang tiba-tiba muncul ditengah lahapnya menikmati hidangan. Atau, kita harus menerima kebisingan jalanan dengan deru-debu dan suara mesin motor dan mobil yang berseliweran disepanjang jalan.
Nah, kalau seandainya ada suatu tempat yang didesain special atau dikelola dengan baik, khusus untuk menempatkan para pedagang makanan jalanan itu, mungkin akan lebih tertata rapi dan elok. Misalnya ditempatkan di daerah ramai tapi tak terlalu berdekatan dengan jalan raya. Selain bisa menjadi ciri khas kawasan tertentu, juga bisa memudahkan orang untuk menuju ke suatu tempat yang semua masakan lengkap hadir disana.
Selama ini,
kebanyakan tempat street food mengambil trotoar dan bahu jalan.
Padahal trotoar, itu adalah tempatnya dan hak pejalan kaki lo. Belum
lagi, pengendara kendaraan terganggu, karena jalan menyempit. Nah,
kalau bagian ini, pastinya tugas pemerintah ya. Kalau tugas pembeli
dan penikmat street food, ya pastinya menilai cita rasa sajian, tampilan makanan, plus pelayanan dan kebersihan yang ditawarkan, hehehe....
Yang penting, jangan sampai para pedagang memunculkan masakan khas daerahnya hanya setahun sekali. Sayang ah...
-detik.com
-http://id.wikipedia.org/wiki/Kerak_telor
Artikelnya keren ! yoi Jol jangan sampe makanan khas kita di Claim org baru deh kelimpungan ! hayuk kenalkan makanan tradisional kepada banyak orang, yakin deh kalau banyak warga jakarta yang belum kenal makanan khas Indonesia !
ReplyDeleteSetuju Zak, banyak yang muncul setahun sekali yah....terutama juga makanan khas Palembang, banyak orang yg gak tau.Palembang tuh bukan punya empek-empek doang, tapi ada laksa, burgo dll. Cuma,..ya itu..munculnya setahun sekali,pas ada pasar bedug doang yang hadir ketika bulan puasa. Atau hanya ketika ada ada event2 provinsi saja.
Delete