Ya,
ini masih melanjutkan soal cerita perjalanan saya selama 2 hari satu
malam di Pulau Harapan, dalam rangka liburan sekaligus kerja.
Ehm...
Pagi
beranjak siang kala itu, usai merampungkan segala gawean, sekitar jam
11 siang, saya, dan rombongan baru saja turun dari kapal nelayan,
dari tengah laut, karena ada kegiatan. Saat kapal kecil kami hendak
berlabuh di dermaga, sudah terlihat banyak orang yang menaiki kapal
kerapu/kapal penumpang yang akan membawa penumpangnya (dan juga
akan membawa kami pastinya) tuk kembali ke Jakarta.
Seingat saya, panitia kegiatan yang saya ikuti mengatakan dari awal, kalau kapal akan berangkat jam 1 siang. Sementara, saat itu baru jam
11 siang.
“Kok
mereka sudah pada naik kapal sih,.? Padahal baru jam 11, lo? Lumayankan
mereka bakal lama nunggu dikapal 2 jam“, begitu celetuk salah satu
teman jurnalis saat kami hendak turun dari perahu/kapal nelayan.
“Iya
juga, ya? Ngapain sih mesti cepat-cepat,..?”, celetuk yang lain
“Oh,
mungkin mereka pengen cepat mendapatkan tempat duduk kali. Karena,
siapa yang cepat, ya dia akan kebagian tempat duduk di posisi yang
diinginkan.” Begitu dugaan saya.
Karena
masih mengganggap punya waktu 2 jam lagi, kamipun santai saja turun
dari perahu lantas melenggang menuju penginapan tuk mandi, makan
siang, serta berberes. Mandipun harus antri, karena kamar mandinya
cuma satu, semetara ada 9 kepala yang menempati home stay itu. Sembari
menunggu yang lain mandi, saya isi waktu dengan makan siang, biar
cepat dan waktu gak mubazir.
Saat itu, jam dinding masih menunjukkan pukul 12 siang. Ah, masih satu jam lagi tersisa. Tak ada rasa was-was atau terburu-buru, walau saya sudah selesai mandi dan makan, hanya tinggal berkemas saja. Tak lama, saya merasa sudah beres dan okeh, jadi, pengen aja pamit duluan, soalnya ya mau nunggu apa lagi..? Begitu kata hati saya.
Kata pamitpun, saya lontarkan pada teman-teman yang masih belum siap. Ada yang masih mandi, ada yang sedang berdandan, ada pula yang beres-beresin baju. Sebelum kepergian saya dari tempat kami menginap sehari semalam itu, sudah ada 4 orang yang duluan cabut menuju dermaga.
Saat itu, jam dinding masih menunjukkan pukul 12 siang. Ah, masih satu jam lagi tersisa. Tak ada rasa was-was atau terburu-buru, walau saya sudah selesai mandi dan makan, hanya tinggal berkemas saja. Tak lama, saya merasa sudah beres dan okeh, jadi, pengen aja pamit duluan, soalnya ya mau nunggu apa lagi..? Begitu kata hati saya.
Kata pamitpun, saya lontarkan pada teman-teman yang masih belum siap. Ada yang masih mandi, ada yang sedang berdandan, ada pula yang beres-beresin baju. Sebelum kepergian saya dari tempat kami menginap sehari semalam itu, sudah ada 4 orang yang duluan cabut menuju dermaga.
Ya, hari itu, siapa yang duluan mandi dan selesai berbenah, langsung menuju ke kapal. Jadi, masing-masing kami tak berbarengan menuju dermaga.
Dan kepergian saya, hanya terpaut sekitar 3 menit dari Mbak Weni, teman satu kamar saya yang paling buncit berangkat, sebelum saya. Sementara dua teman lain lagi, Sulis, Bu Puspo dan Dindi, sudah sekitar 10 menit yang lalu meninggalkan kami.
Dari
jauh, saya melihat Mbak Weni bergegas menuju kapal. Saya ingin
memangilnyal, tapi ..ah sudahlah.. toh bakal ketemu juga disana,
begitu pikiran saya. Namun, semakin mendekati dermaga, saya semakin
mempercepat langkah, entah kenapa. Padahal, kapalnyakan belum jalan,
belum pula nyampe jam 1, yang katanya jadwal keberangkatan kapal jam
segitu.
Ketika
sampai di dermaga, saya buru-buru mengejar Mbak Weni, yang sudah
menaiki kapal. Alhamdullilah sayapun berhasil menaiki kapal pertama
berbarengan dengannya. Sementara kapal yang bakal saya
tumpangi sampai ke Jakarta adalah kapal kedua, kapal MILES namanya.
Itu adalah kapal yang juga membawa kami dari Jakarta di hari
sebelumnya. Kenapa mesti kapal itu lagi? Ya, karena tiketnya sudah
dibeli oleh panitia dengan nama kapal itu.
Oke..
Sipp..
Nah,
posisi kapal MILES ini ada di urutan kedua. Jadi saya sebut kapal
kedua saja ya.
Ada
dua kapal di dermaga saat itu. Posisinya berdempetan. Kapal yang akan
saya naiki berada persis di sebeahl kapal pertama. Artinya, kalau mau mencapai kedua, mesti
melalui kapal sebelumnya atau kapal pertama, yang juga sama -sama
akan menuju pelabuhan Muara Angke. Teman-teman rombongan lain, sudah
berada di kapal kedua. Saya bisa melihat mereka dari kapal pertama,
karena posisi saya sudah berada diatas kapal pertama bersama dengan
Mbak Weni.
So,
tinggal meloncat sebentar, berpindahlah saya ke kapal kedua. Namun
sayang, ketika saya dan Mbak Weni
hendak melompat, ulalala.... dalam hitungan detik, ABK kapal kedua sudah
melepaskan tali pengait kapal. Jadi, kapal itu langsung bergerak
menjauh. Ups...saya sempat tertahan di bibir halaun kapal pertama. Bingung, karena terpisah dari
rombongan yang sebagian besar naik di kapal yang sudah siap berlayar
itu. Saya hanya melongo ketika melihat dua kapal ini terpisah.
Karena
bingung, akhirnya, saya dan mbak Weni, berencana kembali ke dermaga, turun
kapal maksudnya, biar bisa berbarengan dengan teman yang lain, yang
masih ada di penginapan.
Eh,
pas kami mau turun, kapal tempat kami berdiri dengan kebingungan
itupun sudah melepaskan tali, perlahan menjauh dari dermaga. So, kami
sudah tak bisa loncat atau turun lagi ke dermaga. Ullalala,
benar-benar terpisah satu sama lain. Saya sempat panik dan cemas.
Mbak Weni, sibuk menghubungi panitia, sayapun begitu. Karena, kami
kepikiran teman-teman yang masih ada di pulau.
Saya
pikir, cuma ada dua kapal, gimana nasibnya mereka yang masih ada di
penginapan..? Bakalan gak bisa pulang dong hari itu...? Ah, ternyata
untunglah masih ada satu lagi kapal yang belum berangkat..Dan itulah
kapal terakhir atau kapal ke 3, yang posisinya berada agak kedalam
dermaga. Jadwal keberangkatannya jam 1 siang. Dan itu adalah jadwal
kapal terakhir setiap harinya.
Ups...saking
paniknya diatas haluan kapal, kami masih dengan posisi berdiri, sementara
penumpang lainnya sudah duduk manis. Karena melihat
kepanikan dan keriuwehan kami, mbak yang duduk dibelakang saya
nyeletuk “Ya sudahlah gak pa-pa kepisah kapal, wong tujuan
kapalnya sama-sama ke Muara Angke juga, kok,” begitulah seloroh
mbak-mbak yang gak jelas dan sok tau.
Rasanya, saya ingin bilang dengan gregetannya sama dia: "Hei, ini bukan masalah sama-sama tujuan ke Muara angke-nya, tapi kami berpisah dengan rombongan gitu, lo. Itu yang bikin gak enak. Kalau berangkatnya barengan dengan satu kapal yang sama, ya harusnya pulangnya juga begitu.=1"
Rasanya, saya ingin bilang dengan gregetannya sama dia: "Hei, ini bukan masalah sama-sama tujuan ke Muara angke-nya, tapi kami berpisah dengan rombongan gitu, lo. Itu yang bikin gak enak. Kalau berangkatnya barengan dengan satu kapal yang sama, ya harusnya pulangnya juga begitu.=1"
Selain
itu, tiket kapal juga ternyata dipegang oleh salah satu panitianya,
yang saya tak temukan dia di sekitar dermaga. Menurut teman-teman
yang lain, panitia memberikan tiket satu persatu kepada rombongan
yang hendak pulang, saat mereka berada disekitar dermaga. Sementara,
sang panitia, baru besok pulangnya. Damn!
Loh..kalau
tau gitu, kenapa gak dikasih dari hari sebelumnya saja tiketnya..?.
Atau ketika pagi harinya, misalnya,? Kalau ketemuan didermaga, itukan
padat manusia, takut-takut keselip gak ketemu dan sebagainya. Dan
betulkan...kejadian toh, kita emang gak ketemu sama si pemegang
tiket....?
Sebelumnya,
saya justru sama sekali gak terpikir soal tiket ini, karena saya
kira, panitianya akan satu kapal berbarengan jadwal pulangnya dengan
kami, sehingga segala akomodasi dan urusan kapal, ya, akan ada yang
mengurus.
Ternyata
oh ternyata......
So.... Ada
dua pesan yang saya dapatkan dengan kejadian ini.
Yang
pertama : Mahalnya Sebuah Koordinasi.
Mbok
ya dibilangin toh, kalau akan ada pemberian tiket ketika hendak
berangkat. Pemberian itu dilakukan disekitar dermaga pada jam
sekian, misalnya. Dan diharapkan semua peserta, bisa berkumpul jam
12, meski kapalnya berangkat jam 1-an... katanyaaaaaaa.....
Ya, supaya semua orang bisa mempercepat waktu berberesnya.
Ya, supaya semua orang bisa mempercepat waktu berberesnya.
Atau, tau gitu, mungkin ada beberapa teman yang akan minta tiket pulang jauh-jauh sebelum jam
keberangkatan kapal, biar tenang, dan panitiapun lega, karena sudah memberikan tiketnya. Tapi sudahlah, cerita soal tiket ini dihanguskan
sajahlah, ya. Toh, saya juga pulang bukan dengan kapal yang sudah ada
tiketnya itu. Saya pulang dengan kapal lain. Dan harus membayar
sendiri tentu. Untunglah cuma 35 ribu rupiah. Saya masih sanggup
bayarnya, hihihi. Saya pikir seratus ribuan ongkosnya. Maklum, saya
baru pertama kali nyebrang pulau pakai kapal kerapu. Selama ini
nyebrang pulau pake jet pribadi.. Loh, emang bisa....? Landasannya
dimana..? Hahaha
Yang
kedua, Kurangnya Informasi
Kok kapalnya bisa berangkat jam 12 ya..? Bukankah dari awal,
panitianya bilang kalau kapal yang akan pulang ke Jakarta dari
P.Harapan ini akan berangkat jam 1 siang..?
Faktanya
tak seperti itu.
Ternyata,
jam 1 siang itu adalah jadwal kapal yang terakhir. Jadi ada 3 kapal
kerapu yang tujuannya ke pelabuhan Muara Angke setiap harinya. Nah,
dua kapal yang sudah berangkat jam 12 ini, yang salah satunya saya
tumpangi, kalau dugaan saya sih (gak tau benar atau salah) bisa saja
jadwalnya keberangkatan dua kapal pertama ini, ya memang jam 12..
Atau.....,
mungkinkah karena penumpangnya sudah penuh dan rame. Jadi, ya buat
apa pula menunggu sampai jam 1 kalau sudah padat begitu,..?
Ah, ini juga informasi dan koordinasi yang perlu didalami lagi oleh panitia. Karena, sepertinya, pihak panitiapun gak ngeh kalau ada jadwal kapal yang jam 12. Mereka pikir semua kapal bakalan berangkat jam 1 semua, makanya kita pada santai-santai saja. Haduh.....
Ah, ini juga informasi dan koordinasi yang perlu didalami lagi oleh panitia. Karena, sepertinya, pihak panitiapun gak ngeh kalau ada jadwal kapal yang jam 12. Mereka pikir semua kapal bakalan berangkat jam 1 semua, makanya kita pada santai-santai saja. Haduh.....
Di
Haluan Kapal
So,
akhirnya saya dan Mbak Weni, yang terpisah dari rombongan kapal
kedua, kebagian duduk di haluan, karena tempat lain sudah penuuuhh. Untunglah ada mbak Weni, teman sekamar saya yang juga berbarengan naik satu
kapal dengan saya. Ya, cuma kami berdua dikapal itu dari 33 orang
sebelumnya.
Duh,
saya sebenarnya sudah takut saja cuy berada di bagian kapal paling
depan, paling pinggir pula saya duduknya.. Tak ada kayu
penghalau/pembatas lagi. Apa kabarnya kalau kapalnya miring..? Bisa
langsung melorot nih badan. Itu yang saya bayangkan. Apalagi,
ditengah laut dengan ombak yang lumayan keras. Senderanpun tak bisa,
karena terhalang dengan kaki orang yang duduk dibelakang saya,
dibagian undakan haluan. Untung tas ransel saya besar dan penuh, jadi
saya bisa bersandar disana.
15
menit meninggalkan Pulau Harapan, semua penumpang yang duduk di haluan kapal, yang jumlahnya sekitar 25 orang itu, masih segar bugar.
Kecerian dari serunya menikmati P.Harapan masih tergambar diwajah
mereka. Sebagian masih sibuk bercanda, ngobrol, dan bermain ponsel.
Tapi, sekitar menit 25-an, semua pada gelisah dan rada teler.
Sudah pada ngantuk. Sibuk mencari posisi tubuh yang enak supaya bisa
bersandar. Ada yang saling bersandar di sesama punggung
temannya, ada yang sandaran di bahu teman sebelah, pun, ada yang
bersandar dengan tas ranselnya, sama seperti saya.
Nih penumpang yang ada didepan saya... |
Lama-lama
bersandar di tas ransel dengan posisi gak lurus, duh.. capek juga euy, Pegal
tepatnya. Karena bentuk tas yang ridak rata, dan lantai kayu haluan
kapal juga rada cekung. Jadi, kalau mau duduk
dengan kaki bersila, yang ada sakit dan gak nyaman. So, salah satu
jalan, ya kaki mesti di tekuk atau diselonjorkan.
Tapi,
saya tak mau menekuk kaki terlalu lalma. Akhirnya, saya cari posisi
uenak, dengan melonjorkan kaki, meski bagian mata kaki kebawah,
menjuntai, melebih batas lebar haluan. Hemm.. ada enaknya juga duduk
di pinggir, bisa selonjoran kaki, hihihi...
Sekitar menit
ke 35, cowok ABG didepan saya tiduran dengan merebahkan diri
berbantal tasnya. Sayapun mengikuti jejaknya. Ya, saya rebahan di
kapal, dengan berbantal tas ransel, berselimut jaket, dan membungkus wajah
dengan selendang pashmina, tuk menghindari panas. Meski angin
laut cukup kencang, sehingga menimbulkan udara dingin, namun terik
matahari yang sedang gagah-gagahnya itu, tak bisa menutupi keadaaan.
Terasa menembus kulit. Untunglah jaket dan pashmina menolong saya,
sehingga bisa membuat saya lumayan enak tidurnya, meski ya gak
mungkin bakalan nyenyak.
Guncangan
kapal karena hentakan ombak, terasa sekali. Perut seperti
diaduk-aduk lo, sepanjang saya rebahan. Ada rasa ingin mual, karena
tubuh bak terombang-ambing. Namun, saya berdoa, semoga hal itu tidak
terjadi. Malu, ah!
Belum
lagi, sepanjang saya tidur-tiduran, ujung kaki saya terkena percikan
air, hingga jeans panjang saya basah hingga selutut. Tapi, tak saya
hiraukan, yang penting bisa rebahan dengan kaki selonjoran dan mata
terpejam, meski tubuh harus berguncang-guncang. Maklum, saya balas
dendam, karena ketika berangkat menuju P.Harapan, saya tak bisa
rebahan dan selonjoran, karena duduk dibagian dak kapal yang sempit
dan penuh orang. Kaki menekuk nyaris sepanjang perjalanan...hiks....
Sekitar
40 menit rebahan, saya dibangunkan oleh seseorang, dengan menoel kaki
saya. “Mbak, mbak, bangun mbak”. Kaget euy. Oh, rupanya salah satu ABK
kapal yang menagih/ mengecek karcis/tiket. Kayak di kereta api ya, pake ditagih. hihihi. Ups,
ketika terbangun, saya melihat penumpang di haluan kapal, sudah pada
duduk semua. Lah, bearti cuma saya yang masih rebahan sorang diri di
atas haluan, hihihihi. Ehm, berhubung saya tak punya karcisnya,
jadi saya harus menyodorkan lembaran rupiah 35 ribu kepada sang penagih.
Ah, gara-gara terbangun, akhirnya posisi saya duduk kembali. Untunglah, kali ini, saya bisa bersandar. Penumpang dibelakang saya, menggeser kakinya, yang semula “tergantung” di undakan haluan kapal, hingga saya bisa bersender.
Ah, gara-gara terbangun, akhirnya posisi saya duduk kembali. Untunglah, kali ini, saya bisa bersandar. Penumpang dibelakang saya, menggeser kakinya, yang semula “tergantung” di undakan haluan kapal, hingga saya bisa bersender.
Nah,
selama posisi saya duduk manis dipinggir haluan. Percikan ombak
bertubi-tubi muncrat mengenai tubuh saya dan penumpang lain. Terjadi
berkali-kali. Baju, celana jeans, pashmina, serta jaket yang saya
pakai, basah semua. Rambut saya kuncup, seperti habis mandi. Rasa air
laut yang asin, terpaksa sedikit banyaknya tercicip/terhisap oleh
saya. Sesekali masuk ke mata. Pedih. Tapi untung rasa pedihnya tak
lama.
Selama 3 jam perjalanan itu, saya bisa melihat pecahan ombak biru yang lebar,
yang membuat hentakan air, hingga muncrat mengenai tubuh kami. Namun, ketika ombaknya tenang,
aman deh.
Sayapun
bisa melihat jejeran pulau-pulau kecil lainnya yang letaknya di tengah laut. Wah, banyak juga ya ternyata jejeran pulaunya.
Saya juga menyaksikan kapal tangker yang sudah karatan, teronggok
di tengah laut, tak berfungsi. Aw, pemandangan yang langka, Maklum, saat perjalanan pergi ke P. Harapan, saya kebagian duduk di dak,
jadi sama sekali tak melihat pemandangan luar.
Untunglah
sepanjang perjalanan, kapalnya berjalan seimbang. Tak terlalu berguncang keras hingga bisa
menyebabkan posisinya jadi miring, misalnya. Meski begitu, saya tetap
deg-degan. Takut terjadi apa-apa. Saya sempatkan berdoa dan berdoa
dalam hati. Sesekali mulut saya komat-kamit membaca Al Fatihah dan
Istighfar, mohon perlindungan Tuhan.
Ah,
ada hikmahnya juga duduk di haluan. Meski harus desak-desakan, sempit, kena
percikan air dan bikin deg-degan.
Sekitar
pukul 2 lebih 15 menit siang, dari atas kapal, kami melihat
gedung-gedung tinggi telah menampakkan dirinya. Pertanda, Jakarta
sudah dekat.
Nah, gedung tingginya sudah terlihat..... |
Saya pikir, karena gedung tinggi itu sudah terlihat, bearti tinggal membutuhkan waktu 20 menitan lagi tuk sampai di Pelabuhan Muara Angke. Eh, ternyata, masih lama ya. Dari terlihatnya penampakan gedung-gedung pencakar langit itu, hingga sampai ke dermaga Muara Angke, memakan waktu sekitar 45 menitan lebih. Oh.... luasnya laut...
Semakin
mendekat lagi ke dermaga. Ada apartemen 4 tower yang berada disekitar
Muara Angke, sedang dalam proses pembangunan menyambut kami.
Di sekitarnya, terlihat banyak kapal-kapal nelayan tuk
disewa. Tuk, memberangkatkan orang-orang pergi berlayar ke pulau yang
tak terlalu jauh dari pelabuhan Muara Angke.
Kapal-kapal nelayan berteret di dermaga... |
ABK
kapal, sudah siap sedia standby di haluan kapal, bergabung bersama
kami, tuk bersigap jika kapal sudah merapat ke dermaga.
ABK kapal, berbaju biru merah... |
Ehm...
ternyata, mau parkir kapal itu seperti parkir mobil ya. Mesti nyari
space yang tepat. Sang kapten kapal, berkali-kali berteriak, saat
mengarahkan anak buahnya tuk menyuruh kapal yang didepan tuk minggir,
atau mundur, agar kapal kami bisa melintas. Ya, layaknya suara
brisik tukang parkirlah , hihihi...
3 jam perjalanan, ah,
akhirnya... sampai juga di dermaga, melewati puluhan kapal-kapal lain
yang bertengger di pelabuhan. Dan itu artinya, saya dan penumpang kapal, harus menikmati lagi kekumalan dan kesemrawutan pelabuhan Muara Angke.
Kedatangan wisatawan dari P.harapan... |
Ketika
sudah di sisi dermaga, kami tak langsung pulang, karena menunggu
rombongan dari kapal kedua yang masih dibelakang kami. Jadi, meski
kapal kedua tadi berangkatnya lebih dulu dari kami, namun kapal kamilah
yang duluan sampai, hehehe. Tapi, cuma sebentar kok jeda jaraknya.
Sekitar 20 menit kami menunggu, mereka sampai. Sementara, rombongan
satu lagi dikapal ke tiga atau terakhir, yang berangkatnya jam 1 siang,
terpaksa harus kami tinggalkan, karena pasti akan kelamaan kalau
ditunggu.
Puluhan kendaraan
sejenis odong-odongpun sudah siap menyambut dan menampung para pendatang tuk mengantarkan
penumpangnya keluar dari pelabuhan, menuju halte busway atau tempat
mangkalnya taxi. Bagi yang tidak ada jemputan, gak mungkin bisa
melalui pasar ikan yang becek, kotor dan kumuh itu dengan berjalan
kaki, karena genangan airnya lumayan tinggi.
Ini yang saya maksud jenis odong-odong. Lebih tepatnya apa ya sebutannya..? |
Kamipun
keluar dari pelabuhan dengan memakai odong-odong, tuk janjian dengan
mobil penjemput yang ternyata, eh, sopirnya salah tempat menunggu. Mereka
parkirnya ternyata di Kali adem, halah... Jadi mesti janjian dulu
tuk ketemu di satu titik. Untunglah, akhirnya kami bisa ketemu dengan sang penjemput. Kami berlimapun, diantarkan
ketempat tujuan masing -masing.
Ah,
andai pengen mengulangi lagi ke Pulau Harapan, pengennya sih gak
berangkat melalui Pelabuhan Muara Angke yang semrawut dan kumal itu. Pengennya
juga, cepat cepat sampai di dermaga, agar cepat naik ke kapal, supaya
bisa nyari atau menemukan spot tempat duduk dengan posisi yang enak. Agar
perjalanan lebih berwarna...tsaaah....
Dan,
yang lebih penting lagi, adalah koordinasi dengan banyak orang
tak tersumbat dan berjalan lancar, supaya dalam satu rombongan, bisa
berangkat bersama-sama, dengan kapal yang sama, pulangnyapun
kudu bersama-sama lagi. Okeh..?
Baru pertama mampir kesini kayanya :D
ReplyDeleteudah disuguhin cerita yang bikin saya berpikir buat nyoba naik kapal ituu, saya belum pernah soalnya menyebrangi lautan hihi
tapi dari baca ceritanya udah bisa bayangin gimana seru dan deg2nnya duduk di haluan kapal itu.. Btw, salam kenal yah ka
Sama-sama Rani.....Duduk di haluan Kapal,ada serunya, ada deg-deg sernya juga...hehehe.. Salam kenal juga Rani...Makasih sdh mampir..
DeleteSetuju...bertengger di haluan kapal beraneka rasa : deg-degan dapet, senengnya juga dapet, pemandangan pun lebih jelas terlihat :)
ReplyDeleteIya Sie-thi ....kalau perjalalannya gak terlalu jauh, asyik2 aja duduk di haluan, tapi kalau jauh, waduh, selain takut, kepanasan juga euy...hehehe
Delete