Pendongeng asal Aceh, PM Toh tengah menghibur anak-anak dan pengunjung, saat saya tiba di panggung Festival Panen Raya (PARARA) 2017, hari kedua, Sabtu (14/10/2017).
Ia bercerita tentang pentingnya fungsi tumbuhan dengan menggunakan berbagai atribut dongeng yang unik. Ia memegang styrofoam berbentuk daun besar, sambil menceritakan tentang daun dan kehidupannya.
Suara speaker yang menggelegar dan jernih, menjadi pemikat orang, tua muda, untuk menonton dan mendekati area panggung. Didukung pula cuaca yang bersahabat, tidak panas, namun juga tidak mendung, di Taman Menteng Jakarta Selatan, tempat acara itu berlangsung.
Apa yang didongengkan PM Toh, tentu saja berkaitan dengan tema yang diangkat tahun ini “Jaga Tradisi, Rawat Bumi". Festival dua tahunan ini memang bertujuan untuk memberikan informasi mendasar tentang arti penting produk-produk lokal buatan komunitas-komunitas lokal. Dari situ, tentu saja menjadi pembelajaran bagi kita agar bisa menjaga tradisi dan merawat hasil bumi.
PM Toh Mendongeng |
Dari hasil bumi itu pula, di sekitar lokasi, berhamparan pajangan kerajinan hasil bumi khas daerah yang ada di Indonesia. Ada 70 komunitas dan masyarakat adat, yang unjuk gigi dan memamerkan karya mereka. Mereka datang langsung dari daerahnya, tapi adapula komunitas yang tinggal di Jakarta, tapi produk yang mereka jajakan memang berasal atau dikirim dari masyarakat adat. Produk-produk tersebut merupakan hasil kolaborasi panjang antarwirausaha yang terdiri dari sejumlah komunitas dan pekerja kreatif yang dibangun selama fase prafestival. Ada kain-kain cantik dan ulos dari pulau Flores dan Sumba, NTT. Harganya bervariasi, ada yang per dua meter, Rp 400.00-an.
Kain khas NTT |
Ada pula kreasi anyaman bambu yang dibentuk topi, tas, wadah fungsional, dsb. Di booth Yayasan Anak Papua, bisa ditemukan beberapa kerajinan dari anyaman bambu tadi. Jika ingin melihat kerajinan batok kelapa yang dibentuk menjadi bunga matahari, motor vespa, tas, hiasan dinding, dll, persis di sebelah booth Papua.
Ragam kerajinan di PARARA 2017 |
Ada pula yang menjual biji kopi, dan menghidangkan ragam kopi dari nusantara, namanya Sindikat Kopi Lokal. Selama di Festival, boleh icip-icip gratis kopi di booth ini. Dan booth ini selalu ramai. Bearti orang Indonesia banyak yang pecinta kopi ya, hehehe. Di dekat booth Sindikat Kopi, ada yang sedang sibuk Cupping Session. Barista professional Andro Kaborang, tengah memandu acaranya. Tak kalah ramai orang menyaksikan aksinya dari dekat. Wah, lagi-lagi coffee efek nih, hihihih
Booth Sindikat Kopi Lokal |
Tak jauh dari aksi Cupping Session, saya menghampiri penjual jamu kemasan dalam botol. Ada jamu temulak dan jahe merah serta jamu kunyit asam. Dua-duanya enak di lidah saya saya. Saya mencicipi samplenya, sebelum menentukan pilihan mana yang akan saya beli. Harganya Rp25 ribu per botol.
Jamu |
Di ajang ini, kalau tak ada sajian kuliner, tentunya tak komplit dong ya. Jadi, selain minuman, bisa juga icip-icip makanan. Seorang ibu menawarkan saya roti. Katanya, roti itu dibuat oleh anaknya yang berumur 16 tahun. “Dari umur 4 tahun, anaknya saya sudah belajar masak, dan ini hasil kreasianya dia,” kata si ibu sambil memamerkan home industry-nya.
Suasana Parara 2017 |
Kerajinan dari biji bijian, bak lukisan |
Setelah berkeliling ke beberapa booth di Parara 2017, saya terhenti di lokasi panggung utama, tempat PM Toh mendongeng tadi. Di titik ini, sedang berlangsung gladi resik (GR) peragaan busana/ fashion show yang dibawakan para model. Ow, para peragawati tubuhnya langsing-langsing, sang peragawan ganteng dan badannya atletis. Lumayan cuci mata, hahahha. GR dilakukan agar saat membawakan busana pada malam harinya, para model bisa menguasai medan, sehingga berlangsung lancar. Ada ragam busana tenun dengan empat tema, salah satunya karya Yoga Wahyudi yang bakal dipamerkan.
Para Model saat Gladi Resik |
Sayangnya, ketika malam tiba, dan kembali ke area ini lagi (sebelumnya saya sempat pergi ke tempat lain) fashion shownya sudah selesai, jadi terlewat deh. Tapi, beruntung, saya masih sempat menyaksikan live music band-band indi. Ada Sandrayati Fay, dan Ari Reda, menyuguhkan suara dan musiknya yang menawan. Terlena saya mendengar suara mbak penyanyinya. Band indi itu emang unik, keren dan kece ya. Walau mereka tak terkenal secara komersil, tapi penggemarnya tak kalah banyak, karena karya mereka yang asik didengar.
Live Music Band Indi, Ari reda |
Itu cerita hari kedua.
Di hari pertama, yang menarik perhatian saya dan beberapa pengunjung lain adalah dandanan seorang bapak yang memakai baju adat Kalimantan Utara bersama alat musik. Namanya, Eliyas Yesaya. Saat saya lewat, ia tengah memainkan alat musik "Keng" dari bambu, ciri khas Suku Dayak Lundayah Kalimantan Utara dan rompi yang dipakainya dari jenis kayu Talun (sejenis sukun). Saya mampir sebentar, melihat aksinya memukul “Keng” ke lengan pengunjung, hingga menimbulkan bunyi khas.
Eliyas Yesaya, (kanan)memainkan alat musik "Keng" |
Nah, hari ketiga, Minggu (15/10/2017) yang merupakan hari terakhir festival ini, saya tak mengunjunginya lagi, karena capek, hehehe. Oh ya, Pada Festival Panen Raya Nusantara PARARA 2015, yang merupakan pertama kalinya ajang diselenggarakan, saya ikut menyaksikan juga lho. Bisa dibaca di sini dan di sini kisahnya.
PARARA 2017 bukan sekadar perayaan, namun juga terobosan bagi community enterprises (perusahaan berbasis masyarakat) yang berkelanjutan. Festival ini berusaha menjadi katalisator guna mendukung penjualan produk-produk lokal yang berkelanjutan dengan menggaet para pengambil keputusan serta konsumen. Dan bagi saya yang tinggal di Jakarta, senang sekali, bisa melihat kerajinan khas dari daerah nun jauh di sana.
Semoga saya bisa berjumpa lagi di PARARA selanjutnya.
Sumber: panenrayanusantara.com
Seru banget mbak festivalnya, aku juga suka dateng ke festival kebudayaan. Semoga seterusnya makin banyak ya festival kebudayaan macem ini mbak.
ReplyDeleteIya, jadi makin tahu ragam kerajinan khas daerah. Dan bisa melihat orang pakai baju adat juga :))
Delete