Beberapa waktu lalu saya membaca status teman lama di FB, yang kurang lebih isinya mengenai kekesalan terhadap seseorang yang mencibirnya karena ia tetap berkarir/ bekerja. Sementara, ia mempunyai anak batita (bayi dibawah tiga tahun) yang harus ditinggalkannya, saat ia bekerja.
Di status itupun ia serukan, kalau salahsatu alasan kenapa ia tetap bekerja, dengan kondisi ada anak kandung yang butuh penjagaan dan kasih sayangnya, karena semua orang dan rumah tangga itu punya kebutuhan masing-masing. Ya sandang, pangan maupun papan. Andai ia tak bekerja, mungkin saja kebutuhannya tadi tak akan terpenuhi.
Sayapun akhirnya terpengaruh dengan letupan tersebut, hingga ikut menuliskannya disini. Karena saya juga wanita dan kelak akan menjadi seorang ibu, jadi saya tau perasaan teman saya tadi. Sebut saja namanya Riri.
Menurut saya, Riri menulis
kekesalannya melalui jejaring sosial, adalah sebagai luapan
emosinya karena orang yang mencibirinya seolah-olah menganggap ia telah
menelantarkan anaknya. Seakan-seakan ia dituding lebih memilih menjadi wanita
karir yang gaul, yang terhormat, ketimbang mengasuh anaknya di rumah.
Selama ini, mungkin ia hanya diam saja ketika ada orang yang menyindirnya, hingga ia harus meletupkan emosinya di media sosial. Entahlah, apakah orang yang ditujunya atau disindirnya melalui statusnya tadi, juga berteman dengannya di FB atau tidak. Yang jelas, kalau dilihat dari sisi psikologis, seseorang akan merasa puas, apabila ia berhasil menumpahkan kekesalannya di media umum hingga diketahui orang banyak. Ibaratnya curhat gitu, bikin kita plong. Walau sebenarnya, tujuan dari media sosial bukan untuk curhat semata apalagi, mencibir, mencaci dan menghina orang.
Emang sih, mulut dan guratan tulisan orang gak bisa kita bungkam. Karena setiap orang punya hak masing-masing untuk berkomentar, memuji, memberi pendapat, bahkan menghujat. Cuma, kadang banyak orang yang mulutnya gak bisa direm tadi, berlagak sok tau akan kehidupan orang yang dinilainya, kayak dia yang paling bener aja. Hadehh....
Bro, setiap orang itu, khususnya wanita, punya alasan mengapa memilih bekerja atau tidak bekerja, saat ia telah berkeluarga dan dikaruniai anak. Wanita yang tetap memilih bekerja, mungkin ia merasa gaji yang diterima suaminya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Makanya, ia memutuskan untuk tetap melanjutkan pekerjaannya, agar bisa membantu suami menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara, wanita yang memilih berhenti bekerja ketika sudah mempunyai momongan, mungkin karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya kepada anak, suami dan dan rumah tangga. Atau, bisa jadi, emang suaminya yang tidak mengizinkan istrinya tuk bekerja (lagi), meski kadang salary sang suami sebetulnya sedang-sedang saja. Semua punya alasan masing-masing. Karena setiap orang punya tuntutan atau kebutuhan yang berbeda-beda.
Nah, beberapa hari selanjutnya, pasca Riri curhat di FB, ia memposting capture tulisan di bawah ini, sepertinya ia dapatkan dari akun instagram temannya.
Selama ini, mungkin ia hanya diam saja ketika ada orang yang menyindirnya, hingga ia harus meletupkan emosinya di media sosial. Entahlah, apakah orang yang ditujunya atau disindirnya melalui statusnya tadi, juga berteman dengannya di FB atau tidak. Yang jelas, kalau dilihat dari sisi psikologis, seseorang akan merasa puas, apabila ia berhasil menumpahkan kekesalannya di media umum hingga diketahui orang banyak. Ibaratnya curhat gitu, bikin kita plong. Walau sebenarnya, tujuan dari media sosial bukan untuk curhat semata apalagi, mencibir, mencaci dan menghina orang.
Emang sih, mulut dan guratan tulisan orang gak bisa kita bungkam. Karena setiap orang punya hak masing-masing untuk berkomentar, memuji, memberi pendapat, bahkan menghujat. Cuma, kadang banyak orang yang mulutnya gak bisa direm tadi, berlagak sok tau akan kehidupan orang yang dinilainya, kayak dia yang paling bener aja. Hadehh....
Bro, setiap orang itu, khususnya wanita, punya alasan mengapa memilih bekerja atau tidak bekerja, saat ia telah berkeluarga dan dikaruniai anak. Wanita yang tetap memilih bekerja, mungkin ia merasa gaji yang diterima suaminya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Makanya, ia memutuskan untuk tetap melanjutkan pekerjaannya, agar bisa membantu suami menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara, wanita yang memilih berhenti bekerja ketika sudah mempunyai momongan, mungkin karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya kepada anak, suami dan dan rumah tangga. Atau, bisa jadi, emang suaminya yang tidak mengizinkan istrinya tuk bekerja (lagi), meski kadang salary sang suami sebetulnya sedang-sedang saja. Semua punya alasan masing-masing. Karena setiap orang punya tuntutan atau kebutuhan yang berbeda-beda.
Nah, beberapa hari selanjutnya, pasca Riri curhat di FB, ia memposting capture tulisan di bawah ini, sepertinya ia dapatkan dari akun instagram temannya.
Kalau
menengok tulisan di atas, apakah masih pantas kalau wanita
yang sudah punya anak, tapi tetap bekerja,
lantas dianggap gak peduli dengan anak dan keluarga gitu..? Dari mana
ukurannya, kok
bisa sih menjudge orang seperti itu. Tak ada ibu yang tidak menyayangi
anaknya.
Gak ada pula orang tua yang mau lepas tanggungjawab. Bisa saja, teman
saya tadi tetap bekerja, karena gaji suaminya pas-pasan. Atau
mungkin, kalaupun gaji suaminya besar, tapi mereka punya cicilan/kredit
atau
hutang lain yang harus dilunasi perbulannya. Hingga gaji suaminya yang
lumayan
tadi terkuras tuk menutupi cicilan.
Ada lagi yang bilang, hubungan anak dan ibu kandung akan menjadi kurang dekat kalau sering ditinggal ibunya bekerja. Nanti, si anak menggangap si pengasuhnya atau baby sisternyalah yang berperan sebagai ibunya. Bisa jadi, sih. Tapi, itu juga tergantung, ya. Kalau misalnya dalam satu minggu full si ibu tadi bekerja dari pagi sampai malam, trus pas sampe dirumah langsung tidur, gak ada waktu tuk bercengkrama dengan anak, ya mungkin saja hubungannya dengan sang buah hati jadi renggang.
Tapi, kalau si ibu kerjanya office
hour, yang ketika sore sudah ada ditengah-tengah keluarga dan malamnya
punya banyak waktu luang tuk dihabiskan bersama anak-anaknya, saya rasa,
hubungan batin antara anak dan ibu akan baik-baik saja.
Nah, saya ini, juga termasuk
produk yang ditinggal bekerja oleh Ibu waktu kecil dulu. Saya, diasuh oleh uwak
(saudara perempuan ibu) dan kakak-kakak sepupu saya. Saya diasuh oleh mereka, karena ibu saya bekerja
dari pagi sampe siang, mengabdikan ilmunya sebagai guru di salah satu sekolah.
Tapi, meski saya ditinggal
ibu bekerja setiap pagi hingga sore, namun, saat saya bertumbuh hingga remaja,
hubungan atau ikatan batin antara saya dan ibu, ya baik–baik saja. Saya gak
merasa lebih dekat dengan uwak atau kakak sepupu saya, misalnya, karena mereka yang
banyak mengasuh saya. Saya tetap dekat dengan ibu. Apalagi, di hari senggang
semisal sabtu dan minggu, saya seharian bersama ibu, dan sering diajak
jalan-jalan juga. Artinya, hati seorang ibu itu tau bagaimana ia harus
membahagiakan anak-anaknya, demi menebus waktu yang “terbuang" saat ia sedang
berjuang mencari rezeki untuk keluarganya.
Oh ya, meski Ibu dan Ayah saya sama-sama bekerja dan berstatus PNS, bukan bearti lantas
ekonomi kami aman. No..! Cicilan motor, rumah dan sebagainya sudah menanti di
awal bulan, yang pembayarannya dilakukan dengan potong gaji langsung. Dan semua
ini, harus ditanggung oleh orang tua saya setiap bulannya. Belum lagi tuk
mencukupi kebutuhan pokok laiinnya. Nah, dengan kondisi seperti itu, wajar dunk
kalau ibu saya tetap bekerja.
Ingatkah, 20 atau 25 tahun
lalu, berapa sih gaji PNS itu..? 5 tahun belakangan ini aja gaji PNS sudah
mulai membesar dan gaji guru dinaikkan. Tapi, dulu..? PNS itu terkenal
sekali dengan gajinya yang kecil, walaupun dengan menjadi PNS akan
mendapat tunjangan pensiunan, yang membuat orang berebut ingin menjadi
pengabdi negara.
Tidak bekerja, dicibir juga lo..
Nah, lucunya lagi…giliran ada
wanita yang ketika sudah menikah dan mempunyai anak, justru dirumah saja
alias berhenti/tidak bekerja, eh, koq ya dicibir juga lo oleh orang-orang
sekitar. Haduuhh.... Apalagi, kalau wanita tadi adalah lulusan
sarjana. Hup! Tambahlah menjadi bahan omongan orang.
"Kan, dia itu sarjana,
tapi kok gak kerja, sih. Cuma nganggur doang dirumah. Gak Sayang apa dengan
gelar sarjananya."
Atau...
Atau...
"Ngapain sih,
sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma di rumah doang..?"
Dan masih banyak lagi gunjingan orang menyikapi wanita yang lulusan sarjana tapi nganggur pasca menikah.
Bahkan, teman kuliah saya, malah dicibir oleh saudara kandungnya sendiri, karena hal ini. Ia dianggap tak menghargai jerih payah orang tuanya yang sudah susah payah menyekolahkannya hingga ke perguruan tinggi.
Hei..hei... lagi dan lagii... ada banyak alasan kenapa para wanita-wanita yang berkarir dan berpendidikan tinggi harus memutuskan berhenti bekerja saat ia telah menikah atau mempunyai anak..
Mantan temen sekantor saya misalnya, Dewi, ia memutuskan resign dari perusahaan yang telah memberinya nafkah dan pengalaman selama 8 tahun, karena ia tak percaya pada pengasuh atau pembantu rumah tangga yang akan mengasuh anaknya.
Sementara, kedua orangtua Dewi, sudah tidak ada lagi. (Dewi masih tinggal dirumah ortunya). Jadi, tak ada yang mengawasi bagaimana tingkah polah sang pengasuh ketika sedang mengasuh anaknya. Ya, namanya juga bukan anak sendiri, pastilah perlakuan si "pengasuh bayaran", tak akan sesabar ibu kandung jika menghadapi anak yang rewel, bawel, cengeng dan sebagainya. So, daripada kenapa-kenapa, mending ia berhenti bekerja, dan total tuk mengurusi anak.
Dan masih banyak lagi gunjingan orang menyikapi wanita yang lulusan sarjana tapi nganggur pasca menikah.
Bahkan, teman kuliah saya, malah dicibir oleh saudara kandungnya sendiri, karena hal ini. Ia dianggap tak menghargai jerih payah orang tuanya yang sudah susah payah menyekolahkannya hingga ke perguruan tinggi.
Hei..hei... lagi dan lagii... ada banyak alasan kenapa para wanita-wanita yang berkarir dan berpendidikan tinggi harus memutuskan berhenti bekerja saat ia telah menikah atau mempunyai anak..
Mantan temen sekantor saya misalnya, Dewi, ia memutuskan resign dari perusahaan yang telah memberinya nafkah dan pengalaman selama 8 tahun, karena ia tak percaya pada pengasuh atau pembantu rumah tangga yang akan mengasuh anaknya.
Sementara, kedua orangtua Dewi, sudah tidak ada lagi. (Dewi masih tinggal dirumah ortunya). Jadi, tak ada yang mengawasi bagaimana tingkah polah sang pengasuh ketika sedang mengasuh anaknya. Ya, namanya juga bukan anak sendiri, pastilah perlakuan si "pengasuh bayaran", tak akan sesabar ibu kandung jika menghadapi anak yang rewel, bawel, cengeng dan sebagainya. So, daripada kenapa-kenapa, mending ia berhenti bekerja, dan total tuk mengurusi anak.
Sementara teman saya, Meli, meninggalkan pekerjaannya karena lokasi tempat ia tinggal ketika sudah menikah, jaraknya sangat jauh dari tempatnya bekerja. Jadi, tak memungkinkan melanjutkan pekerjaan, karena hanya akan menguras waktu di jalan.
Ya, pendapatan suami teman
saya yang bekerja di salah satu perusahaan minyak ini, memang cihuy. Ia
bisa mengantongi 25 juta perbulan, karena jabatannya yang cihuy juga. Angka
yang cukup mumpuni untuk ukuran usia yang masih 30 tahunan. Wajar, kalau teman
saya berani bertaruh resign dari pekerjaannya.
So, ada beberapa alasan
kenapa wanita lulusan sarjana berhenti bekerja.
Eh, bisa jadi juga, emak-emak yang gak bekerja kantoran itu, siapa tau mereka bekerja dari rumah, lho. Ya, dari rumah! Mengurus bisnis on line yang hanya bermodal laptop dan jaringan/kuota internet, menjadi penulis yang melahirkan banyak buku dan karya, atau menjadi blogger, yang juga menghasilkan rupiah. Yang lebih trend lagi, sekarang ini tak sedikit wanita yang menjadi freelancer pengelola akun twitter/FB sebuah brand/perusahaan, yang semuanya itu bisa dilakukan dari rumah.
Di jaman yang serba maju dan uhuy ini, banyak pula wanita yang punya skill IT yang jago, tak kalah dengan pria, hingga banyak yang mendalami atau berprofesi sebagai web designer maupun konsultan IT, yang pekerjaannya tak hanya bisa bisa dilakukan dari rumah saja, tapi bisa juga dari cafe, dari terminal, dari ruang tunggu rumah sakit, dari pantai bahkan dari hutan, atau darimanapun. Apa sih yang gak bisa jaman di jaman sekarang ini....? Kecanggihan tehnologi dan merajalelanya internet, membuat kehidupan dan pekerjaan lebih semakin praktis, lo.
Tapi eh tapi......tetap saja mulut orang menggunjingi. Membanding-bandingkan dengan yang satu dan yang lain. Dan, parahnya lagi, masih banyak yang menganggap kalau bekerja dari rumah itu, ya sama saja tidak bekerja...!
Eh, bisa jadi juga, emak-emak yang gak bekerja kantoran itu, siapa tau mereka bekerja dari rumah, lho. Ya, dari rumah! Mengurus bisnis on line yang hanya bermodal laptop dan jaringan/kuota internet, menjadi penulis yang melahirkan banyak buku dan karya, atau menjadi blogger, yang juga menghasilkan rupiah. Yang lebih trend lagi, sekarang ini tak sedikit wanita yang menjadi freelancer pengelola akun twitter/FB sebuah brand/perusahaan, yang semuanya itu bisa dilakukan dari rumah.
Di jaman yang serba maju dan uhuy ini, banyak pula wanita yang punya skill IT yang jago, tak kalah dengan pria, hingga banyak yang mendalami atau berprofesi sebagai web designer maupun konsultan IT, yang pekerjaannya tak hanya bisa bisa dilakukan dari rumah saja, tapi bisa juga dari cafe, dari terminal, dari ruang tunggu rumah sakit, dari pantai bahkan dari hutan, atau darimanapun. Apa sih yang gak bisa jaman di jaman sekarang ini....? Kecanggihan tehnologi dan merajalelanya internet, membuat kehidupan dan pekerjaan lebih semakin praktis, lo.
Tapi eh tapi......tetap saja mulut orang menggunjingi. Membanding-bandingkan dengan yang satu dan yang lain. Dan, parahnya lagi, masih banyak yang menganggap kalau bekerja dari rumah itu, ya sama saja tidak bekerja...!
Hah, memang ya, penonton itu
bisanya cuma mencibir saja. Mereka gak tau apa, setiap orang atau keluarga itu
punya kemampuan dan cara masing-masing.
Sayapun, jika menikah nanti,
kalau gaji suami saya dirasa pas-pasan saja, mungkin akan mikir untuk resign,
karena susah bro cari pekerjaan. Lagipula, semakin hari harga kebutuhan pokok
semakin membumbung tinggi. Andai tak diimbagi dengan pemasukan yang sepadan,
wah... bisa berhenti deh dapur ngebul. Tapi, kalau saya sudah punya anak, nah..itu akan dipikirkan lebih lanjut., hehehe..
Sssstt,... tau gak, meski banyak
suami yang menginginkan istrinya fokus mengurusi rumah tangga saja, alias
berhenti bekerja diluar rumah setelah punya anak, bukan bearti
semua pria setuju melihat istrinya di rumah saja. Ada lo,
teman saya, laki-laki, pernah berkata, kalau ia justru ingin agar
siapapun yang menjadi istrinya nanti, tetap bekerja, walaupun sudah
menikah dan mempunyai anak. Karena baginya, perempuan itu harus gaul dan urusan
pemenuhan kebutuhan rumah tangga, ya harus ditanggung bersama... Nah…..
Salahkah ia berharap
begitu..?
Ya, gak salah juga kalau
menurut saya. Karena setiap orang, seperti yang saya katakan tadi
punya alasan masing masing kenapa berprinsip begini dan begitu. Iya, kan..?
Ah, sudahlah, kalau kita
merasa statusnya cuma penonton, bukan pemain, ya gak usah neko-neko mau
ngomentari atau mencibir orang. Mungkin kita tak tau apa yang terjadi di dalam
dapur orang. Atau, bayangkan, jika orang yang kita gunjingi tadi, posisinya
berada pada diri kita sendiri? Mungkin kita akan mengambil keputusan yang sama
persis, seperti keputusan orang yang sudah dicibir tadi.
Trus, dengan saya menulis
ini...apakah termasuk mencibiri orang juga..?
Udah ah, saya mau tutup
laptop ...:P
"Ngapain sih, sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya nya cuma di rumah doang..?"
ReplyDeleteIbu saya dari dulu sampai sekarang masih begini... :))))
hahhaha... tuh, kan orang selalu mengomentari, meski ia orang tua kita sekalipun. Padahal Mak Orin pasti pny alasannya, kan...?Padahal juga...Mak Orin kan menghasilkan uang juga ya dari rumah, dari hasil ngeblog yang sering mendapatkan keberuntungan ituuuuh...hehehe...
Deletepas punya anak sih memang dilarang sama suami, katanya ngapain kerja tapi anak malah diasuh sama orang lain... sempat galau, tapi akhirnya malah keenakan tinggal di rumah... heuheuheu...
Deletesekarang kalo menang lomba lapornya ke emak... bukan apa-apa, sebagai bukti kalau dari rumah juga anaknya ini tetap bisa berkarya... padahal jurinya banyak yang kelilipan :P
Wow, keren..emak kita harus tau ya, kalau anaknya eksis dan bisa menghasilkan, meski dari rumah. Dan semua keberuntungan Mak Orin itu, tentu juga krn ditunjang dgn faktor pendidikan. Jadi, sbenernya, ya gak sia-sia juga kita kuliah, krn ilmu, pengalaman, dan wawasan terpakai juga tuk hal lain. Lanjutkan, Mak.! hehehe
DeleteIstri saya sebelumnya bekerja di salah satu bank swasta, banyak yg mencibir karena kami jarang terlihat sama-sama. Kemudian saya menyuruhnya berhenti bekerja, sekarang setelah berhenti bekerja masih ada juga yang mencibir, katanya kuliah tinggi2 cuma nganggur dirumah. -_-
ReplyDeleteNah..kan, mas cibiran seperti itu selalu saja kita terima, seolah2 si penonton tadi yang paling tau dgn kondisi rumah tangga kita. Yang mencibir tadi, mungkin blm merasakan kalau posisinya kita ada pada mereka. Tengkyu sharingnya mas Shafa.
Deleteish...aku juga sebel ma orang2 yang demen nyibir orang lain.
ReplyDeleteseolah sendirinya udah sempurna aja :D
tapi stigma tentang wanita pekerja lebih santer lho....
saya sich positif thinking aja, anggaplah angin lalu.
sirik tanda tak mampu :))
Biarkanlah stigma atau cap/persepsi negatif ttg wanita pekerja itu menggonggong, mbak.. Toh, yg tau kebenarannya adalah org yang mengalaminya atau wanita yg bekerja itu sendiri. Kalau niatnya baik dan alasannya tepat, kenapa harus dicibir..? Makasih mak Ina sdh mampir dimari, hehehe
DeleteNamanya manusia memang tak henti berkomentar, mbak.. Kita juga termasuk. Yg bedain bobotnya. Kalau sekadar mengomentari kehidupan orang hanya untuk menghakimi, ya baiknya diam aja.. Sakit soalnya, kalo digituin.. *pengalaman*
ReplyDeleteTapi beda kalau berkomentar untuk membuka pikiran kayak tulisan ini. Saya setuju. :)
Tapi ya gitu deh, mulut (dan jari) orang kita nggak bisa larang. Nggak akan ada habisnya. Yang penting kita kendalikan milik kita aja kali ya.. ^^ keep sharing mba
Yup, betul, sekarang tak hanya mulut yg berbicara, jari jemaripun ikut menghujat kehidupan orang, dan kita tak bs menghentikannya, yang penting kita punya tujuan, karena kita yang merasakannya. Di komentari orang gak bener itu emang sakiiiit rasanya, heheh... Makasih Delyanet...
Deletesaya malah kadang berfikir, kenapa ya kita seringkali malah galau waktu dicibir orng lain padahal kita tdk melakukan kesalahan...kalau saya sendiri, berusaha untuk tidak galau, walaupun memang masih galau :D
ReplyDeleteIya juga ya mas..kalau diomongin, digosipin atau dicibir orang itu, rasa galau, bete dan kesal pasti muncul. Padahal, kita gak salah apa-apa dan gak merugikan orang ya... Tapi memang di gunjingi itu sangat mengganggu psikologis orang lo. Bisa jadi trauma kalau keseringan jadi bahan gunjingan orang atau bhs trendynya sekrg di bully.. Ah, sudahlah kalau mau diingetin dan diturutin gak akan ada habisnya ya soal cibir mencibir ini.. :( Tengkyu mas Zaairul.
DeleteHaha iya mba, jadi serba salah ya, kalau begitu biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu. Moga kita selalu berbahagia dengan pilihan kita masing2 :)
ReplyDeleteYoi, ,biar capek sendiri anjingnya menggongong..dan ujung2nya teler juga, hahhaha... Ya, semoga kita berbahagia dgn pilihan kita, walau stiap pilihan slalau ada resikonya. Makasih Mbak Rahmi...
DeleteEmang bener-bener jadi bingung ya :-D
ReplyDeleteBiarkan tetangga bicara apa, selamaa tidak merugikan dia tetap aja jalani hidup seperti biasa :-D
hihihi...gak usah bingung mas..... seperti katamu, biarkanlah tetangga dan orang bicara, tapi hidup tetap jalan terus,,emang kita minta makan sama mereka.? hehehe Tengkyu Rullah..
DeleteLebih baik fokus pada apa yang terbaik buat kita dan keluarga saja, karena memuaskan atau menyenangkan pendapat orang lain, ibarat menembak 'moving target' - tidak akan pernah bisa dan menyusahkan
ReplyDeleteYes, moving target, pasti akan susah ditembak, karena selalu berubah-rubah. So, tak perlu menyenangkan pendapat orang lain, kalau akan membuat kita jadi susah dan tertekan. Biarlah kita hidup dengan dunia dan tujuan kita sendiri, selagi itu baik, halal dan tak menyesatkan..aseeek... hehehehe Tengkyu Sabina
DeleteMau ibu kerja ato ga kerja teteeepp tanggung jawabnya sama, ngurus anak, ngurus keluarga nomer satu hihihi...Soalnya itu nanti kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat ama ortunya.
ReplyDeleteBetul mbak, semua akan dipertanggungjawabkan, Tapi hidup di jaman sekarang, kita jg harus melihat realita yang ada. Apakah saat ini kondisi ekonomi kita sedang dalam keadaan baik, sedang-sedang saja, atau buruk..? Karena kondisi inilah yang akan mempengaruhi keputusan seorang wanita tuk tetap bekerja atau tidak, tentu dg persetujuan suami jg, heehehe.. Btw, aku baru saja BW ke blognya Mba Vera, ih, cantik blognya, foto-fotonya kece badai, dan tulisannya enak dibaca. Betah ngetem di blognya, hehehe. Makasih mbak Ver..
Deleteduh gak bisa deh cibiran itu berhenti, apapun yang kita lakukan pasti dicibirnya... semoga kita tidak termasuk di dalamnya ya mbak...
ReplyDeleteibu bekerja atau tidak adalah pilihan dan masing2 mempunyai konseksuensinya masing2..belum tentu ibu yang di rumah juga bisa full mendampingi putranya, ibunya ngapain anaknya ngapain? hehe...begitu juga sebaliknya, belum tentu ibu yang bekerja di luar hubungannya berantakan dengan anak2...yang penting itu kualitas ketemu dengan anak, syukur2 bisa dapat keduanya kualitas dan kuantitas...
sebaiknya kita fokus jalani kehidupan dan keputusan kita sendiri, gak perlu membanding2kan, kalaupun ada yg seperti itu, biarlah...kita doakan saja semoga mereka kembali ke jalan yang benar... :D
Wuahahha, aku suka dg statement : "belum tentu ibu yang di rumah juga bisa full mendampingi putranya, ibunya ngapain anaknya ngapain?" , hihihih..aku geli bacanya mbak... hahahha...Iya juga sih, Tapi ya kita tetap pikiran positif aja, siapa tau si ibu tadi dgn kesibukannya yang di kejar target , ya behubungan juga dgn pemasukan rumah tangga kali ye..., hehehe... Iya gak Mbak Ninik...?.
Deleteiya bener....hehehe
Deletesemoga kita bisa selalu positif.... :)
sirik tanda tak mampu, bukan itu alasan yang tepat buat mereka yang suka ngatain,
ReplyDeletesebenarnya hanya sebuah pilihan, mau menghiraukan apa kata mereka, atau membiarkan saja, karena yang ada akan menjadi bahan kegalauan karena cibir-cibir tetangga, hehe..
wanita kan bukan hanya mnegurus suami, anak dan mencuci baju, dan di dapur, kita juga berhak menentukan masa depan harus seperti apa nantinya, bukan begitu ibu-ibu sekalian, hehe..salam kenal bu.?
Yey, Mbak devi bergelora sekali.. Merdeka, mbak! hehehe...Betul, sebagai wanita, kita jg berhak menentukan masa depan, tentu dengan berdiskusi dan meminta restu dari suami juga.. Mudah2an ntar kita dapet suami yg mendukung keinginan dan niat baik kita ya mbak. .Salam kenal kembali mbak Devi...Makasih
Deletebeneran deh jadi serba salah,kerja dicibir,g kerja apalagi hehehe...ada2 aja sih ya, *geleng2*
ReplyDeleteHihihi...yuk nyanyi yang judulnya "serba salah" atau "aku jadi bingung".. yuk..Eh,ada gak ya lagu itu, hehehe.....
DeleteSempat berada di posisi galau karena jadi Ibu bekerja...pun smp hari ini terkadang saat krucils protess n pingin Ibunya ini di rumah saja...dan cukup ayah yg kerja. Tapi hanya kita yang tahu kenapa kita memilih suatu pilihan yang kita mungkin tak ppernah bisa merasa pasti itulah yang terbaik. Saat sy stay di rumah..sy jg tidak yakin bisa menjadi lebih baik dr sekarang...
ReplyDeleteapapun yg orang sampaikan sebagai komentar..saya terima...tapi keputusan ada di tangan kita dan kita yg tahu konsekuensi dr pilihan kita.
Jadi di rumah atau bekerja di luar, yang paling tahu yang menjalani...pastinya ada kekurangan ada kelebihan tp semua merupakan bentuk konsekuensi pilihan.
wedeww kok jd panjang gini comment-nyaa
Wah, Mbak Ophi ternyata pny pengalaman pribadi ya... gak papa komennya panjang mbak, kan gak dimarahi, justru kita jadi tau kegalauanmu gegara masalah ini, hehehe.. Makasih Mbak Ophi, lanjutkanlah keputusanmu,selagi itu bermanfaat dan baik tuk keluarga. : )
Deleteyah sifat manusia mbak hehe, terkadang memang susah susah gampang, di saat bekerja di kira menelantarkan anak, giliran tidak bekerja dikira cuman mengharapkan gaji suami padahal pendidikannya tinggi. saya rasa perlu jiwa yang besar hati untuk para ibu, sikapi dengan bijak toh yang ngejalanin kita sendiri. kata orang ketika seseorang mencibir itu tandanya mereka takut dengan dirinya sendiri hehe....
ReplyDeleteBetul mas, ada yg dibilang cuma ngarepin gaji suami doang...bahkan, saking takut dibilangin begitu, ada teman saya, cewek, yang bilang, dia tetap mau bekerja, karena gak mau tergantung suami dan gak mau diremehkan laki-laki. Nah, lo. Intinya semua orang punya karakter dan pendirian yang brbeda-beda ya.. tapi, biarkanlah saja apapun keputusan mereka, toh yg menjalani mereka juga kan ya, hehehe...si pencicibir mah, ngasih makan juga kagak....:)
DeleteSaya justru kasihan sama orang yang mencibir itu, apa pun alasannya.
ReplyDeleteSungguh kasihan.
Org yg suka atau jago mencibir, biasanya hanya melihat seseorang dari sisi negatifnya saja, tak melihat apa kelebihan atau posisitifnya org yang ia cibir. Dikiranya, cuma ia yang pantas mengomentari atau menilai orang, Dia gak sadar, kalau dia juga dinilai oleh orang.... Sungguh kasihan....
DeleteNamanya hidup ya, jalan apapun yang diambil pasti aja ada yang jadi bahan "dikomentari" :) Aku mah belum mikir nikah, apalagi punya anak. Jadi belum tau juga nanti mau gimana. Tapi kayanya gak perlu juga mencibir pilihan seseorang. Setiap pilihan kan pasti ada pertimbangannya. Ibuku kerja, dari aku balita sampai sekarang. Aku gak pernah merasa jauh apalagi kurang kasih sayang. Ada di rumah seharian juga belum dekat secara mental sama anak, kan? Pokoknya percaya aja, Ibu tau yang terbaik buat anaknya :D
ReplyDeleteIyah Indi, setujuuuh..! Setiap pilihan pasti ada pertimbangannya, Dan tos dulu, kita sama-sama punya ibu yang bekerja, hehehe
Deletebiarin saja mbak,tak usah di dengar tetangga bilang apa juga.
ReplyDeleteTutup kuping pake head phone aja ya Nit, pura-pura dengerin lagu, ..hehehe
DeleteWanita bekerja atau di rumah, itu pilihan. Dirumah pun kalau kehadirannya tak berkwalitas,percuma!
ReplyDeleteSaya ingat Ibu dosen tetangga saya, waktu saya memu berangkat kuliah ketemu beliau di Mikrolet. Saat ngobrol, tiba-tiba dia tanya. "Kamu tau kuliah untuk apa? Kuliah itu untuk melatih akal kita berfikir sistematis, menyederhanakan segala persoalan. Dikantor maupun rumah tangga!" Nice post Mbak Eka, semangat berbagi yaa...:)
Yup, setuju mbak Mutia, walau kita tak bekerja, meski lulusan sarjana,tapi ilmu dari perkuliahan yang kita dapat, atau aktiftas dan pengalamn ketika masa kuliah dulu,berguna juga tuk hal lain. Dalam hal mengajari anak belajar misalnya, atau dalam hal menata omongan saat berbincang dgn orang. Salam ya buat bu Dosennya. Saya setuju pendapat beliau. Makasih mbak Mutia.
Delete