Rela Mencari Sayur Busuk Demi Hijaukan Kampung Rawasari

Kampung Hijau

Baunya anyir. Penampakkannya.... iihh... jorok, seperti sampah berair di dalam tong plastik. Warnanya coklat, diatas airnya mengapung sayur-mayur busuk. Sungguh tak elok dipandang.

Seorang perempuan berusia 61 tahun yang masih nampak gesit itu, menunjukkan pemandangan ‘jorok’ itu kepada saya. Setelah penutup tong dibukanya, secepat kilat pula ia menutupnya kembali. Mungkin ia juga tak kuat melihatnya.

Tak sampai dua detik menutup tong tadi, dengan pedenya ia membuka semacam keran yang menempel di tong, sehingga keluarlah air berwarna coklat bak air comberan itu.

“Nih, (penampakan) airnya,” ujarnya.

Saya meringis manis melihatnya. Untung sedang tidak ngemil makanan, hahahaha...

Ternyata, yang ditunjukkan perempuan itu kepada saya adalah pupuk kompos cair (pupuk kompos ada juga yang padat). Pupuk ini adalah hasil penguraian secara biologis bahan-bahan organik dari sayur-sayuran atau buah busuk.

Meski sudah sering mendengar istilah pupuk kompos sejak saya masih imut dulu, tapi baru kali ini saya melihatnya langsung. Itu karena saya bertandang ke Kampung Rawasari Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta,  jadi ketemu deh sama si kompos, Sabtu pagi itu. Bagi saya yang jarang bercocok tanam ini, melihat penampakan pupuk kompos, sesuatu sekali. 

Jangan Buang-buang Nasi, Gaes!

Saya paling sebal melihat orang yang sering tidak menghabiskan nasi. Kadang disisain sesendok di pinggir piringnya, malah ada yang cuma menyantap setengah piring saja. Trus, yang setengah itu, ya dibuang. Alasannya: sudah kenyang.

Mbok ya, kalau merasa perut sudah agak penuhan sebelum makan besar, ngambil nasinya sedikit-dikit aja toh, biar gak kebuang.

Ada lagi yang beralasan, lauk dalam piringnya udah habis, jadi gak ada rasa atau gak enak kalau makan nasinya doang. Alhasil, nasinya ditinggalin begitu saja. Kasihan atuh ngelihat nasinya.


Kolintang Pecahkan Pagi di Batu Putih


Suara alat musik mirip angklung, di kawasan Batu Putih Bitung, Sulawesi Utara, pagi itu, menarik perhatian, Jumat (31/08/2018). Gemuruhnya membuat saya  mendekat. "Tapi kok, dipukul-pukul, bukan digoyang-goyang seperti angklung?" Batin ini bertanya.

Ehmmm....bukan angklung deh. Trus, cara mainnya kayak gamelan gitu. Tapi bukan gamelan. Kan gemelan terbuat dari lempengan besi, lah ini dari kayu. 

Oh, ternyata itu adalah Kolintang, alat musik khas Sulawesi Utara. Eikeh baru tahu.


Kolintang

Enam anak muda memainkannya. Terdengar lagu Viera “Rasa Ini” menggema pagi itu. Irama lagu barat dan instrumen, juga mereka mainkan.

Satu persatu orang keluar dari tenda untuk melihat lebih dekat irama lagu dari alat musik yang dimainkan.

Puluhan anak siswa Sekolah Dasar, tamu undangan, dan peserta pada  Jambore Nasional di lokasi itu mulai mengerubungi titik itu. Fokus satu titik (kayak Lagu Via Vallen).Ya titik itu, titik di mana enam alat musik yang dipukul-pukul itu mengeluarkan suara indah, memecahkan pagi.

Ada beberapa pengunjung mencoba memainkannya, memegang alatnya atau sekedar merekam aksi para pemain. Saya juga mencoba memukul-mukulnya saat mereka break, meski gak tahu nadanya, hihihihi, yang penting pernah megang Kolintag, hehehe..

Rupanya, permainan mereka di pagi buta itu adalah gladi resik. Gladi resik  dilakukan untuk memeriahkan acara puncak puncak Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional HKAN 2018. Acara ini digagas oleh Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan KLHK.

Jauh ya mas bro eikeh sampai ke sana, hehehe....

Anak Muda dari Sanggar Prima Frista, Minahasa Utara memainkan alat musik Kolintang khas Sulawesi Utara di acara peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di Bitung, Sulawesi Utara, Kamis (30/8/2018)

Asiknya lagi, saya bertemu dengan pemimpin sanggar grup musik Kolintang ini. Stave Tuwaidan (40), namanya. Ia sempat menjelaskan nada-nadanya, saat saya mencoba sok-sok pegang alat pukulnya. “Ya, seperti piano,” katanya. 

Ia juga bercerita, grup musik ini berada di naungan Sanggar Prima Frista. Sanggar ini berada di Minahasa Utara, di bawah Kaki Gunung Klabad. Eh, abang Stave ini juga turut unjuk gigi lho pagi itu.
 
Saya melihat, mereka piawai sekali memainkan Kolintang. Rupanya, pertunjukan Kolintang itu rupanya sudah mendunia. Bukan hanya memesona pengunjung kawasan Batuputih saja. Alunan nada Kolintang dari Sanggar Prima Frista bahkan sudah menggema hingga Moscow, Rusia.

Menurut Stave, mereka baru saja pulang dari Moscow, Rusia, menghadiri undangan Kedutaan Besar RI (KBRI) untuk mengisi acara Festival Musik Indonesia di sana.

"Kami hampir dua minggu berada di Moscow. Sekitar tiga minggu lalu. Sebelumnya kami tampil di Beogard (Ibukota Serbia). Yang tampil di Taman Wisata Alam Batu Putih ini grup yang the best," kata Stave.  

Stave Tuwaidan


Nada-nada dari enam buah alat musik Kolintang riuh menggema, mengalun indah dan rapi diiringi suara merdu penyanyinya. Maklumlah, para anak muda yang memainkannya adalah Juara Nasional dari beberapa event perlombaan nasional dan daerah. Kejuaraan tingkat nasional saja mereka bisa menyabetnya, apalagi yang tingkat daerah yak, tinggal kedip aja kali ya, hehehhe..

Salah satu prestasinya, juara di Festival Musik Kolintang Kerukunan Keluarga Kawanua (K3) pada Mei 2018 di Surabaya. 

Mereka pun menjuarai Lomba PINKAN (Persatuan Insan Kolintang Nasional) di Surabaya, Semarang dan Jakarta pada 2014, 2017 dan 2018. Saat ajang Festival Klabat Sulut, pada 2015, mereka juga menjadi pemenangnya.

Ada 40 orang belajar bermain kolintang di bawah bimbingan Stave. Mereka datang dari berbagai usia. Di Sulawesi Utara, kata Stave, ada sekitar 50 grup Kolintang. Ada yang dimainkan anak SD, SMP, SMU serta orang tua.

Ratusan nada lagu mereka hafal, sebagai bank musik grup ini. Setiap tampil, lagu yang dihadirkan menyesuaikan dengan segmen acara atau penonton. Namun, mereka paling sering memainkan lagu instrumen, sebagaimana juga lagu barat, nasional, pop dan dangdut.

Stave serius memainkan Kolintang sejak 2008.  Lalu ia membuat grup musik pada 2012.

“Saya yang melatih dan memproduksi alatnya sendiri. Saya ingin regenerasi, karena dulu saya lihat yang memainkan musik ini orang tua-tua," kata Stave.

Karena keseriusannya dengan kolintang, sarjana Tehnik Sipil ini pun membuat alat musik kolintang sendiri. Selain digunakan oleh grup sanggarnya, alat musik Kolintang yang mereka produksi pun, dijual. Mereka bahkan pernah menjual alat musik Kolintang ke Moscow dan Amerika. Satu set Kolintang, dijual seharga Rp 40 juta.

Satu set, terdiri dari sembilan hingga 10 alat musik, sesuai standar nasional. Meski jumlahnya segitu, namun jika tampil, tak harus membawa semua lengkap. Bahkan jika alat yang dimainkan hanya hanya 4 sampai 6, suaranya sudah cukup "ribut". “Yang penting sudah mewakili melodinya,” Gitu kata Stave.

Untuk pembuatan Kolintang, kayu kelas dua seperti kayu waru sudah bisa hasilkan bunyi. Tapi, kalau kita mau menilai secara estetikanya, Kolintang yang terbuat dari kayu cempaka akan nampak bewarna putih. Nah, Kolintang yang saya lihat hari itu, terbuat dari kayu cempaka.

Stave kini senang lho melihat perkembangan Kolintang mulai banyak digemari kalangan muda. Padahal, dulunya, pemain kolintang kebanyakan orang tua.

Stave berpesan, walaupun alat musik Kolintang merupakan jenis alat musik tradisional, tapi jangan dilihat dari sudut pandang tradisi terus menerus, karena tradisi itu terkesan seperti murah.

Ia menyarankan, agar Kolintang dilihat sebagai alat musik yang lebih bernilai. Apalagi Kolintang sedang go to UNESCO. Uuunnch....semoga bisa segera dipatenkan dan diresmikan. Biar makin manja alunan Kolintangnya.

Eh, saya jadi pengen deh “pukul-pukul” kolintang, alias main Kolintang. Kata Stave, gampang kok main Kolintang, sama seperti bermain piano. Kalau tingkat dasar, 30 menit belajar sudah bisa bermain Kolintang. Ah yang benar bang? Bisa gak ya akoh? 


Suaraku Tlah Kembali


Sudah 2 bulan ini saya bisa bersuara lagi, setelah 5 minggu  sang suara “hilang” karena radang pita suara. Penyebabnya? Sedihnya?  Saya tulis di sini.

Pada minggu ke-5 itu pun, meski suara sudah keluar, tapi masih serak-serak becek dan masih takut juga buat ngomong kenceng atau dengan nada tinggi, takut pita suara ngambek lagi.



Hasil browsing sana-sini, kalau mengalami radang pita suara lebih dari 4 minggu, itu termasuk kronis. Ini meleset dikit dari perkiraan dokter yang bilang saya menderita radang pita suara akut.

Ternyata, kalau akut radangnya hanya kisaran 1-3 mingguan. Nah, diriku, oh... sampe 5 mingguan, ya bearti temasuk kronis.  Gilleeee....Untung bisa pulih lagi.

Untung pula gak nyampe 3 bulan, seperti penyanyi Adelle atau sepupu teman kantor saya. 5 minggu aja mesti puasa ngomong ya ‘tersiksa’, bijimane kalau sampe 3 bulan. Berapa banyak konser yang harus daku batalkan, eeaaaa...

Untuk pemulihannya, semua pengobatan saya jabani. Mulai dari konsultasi ke dokter dengan obat yang rupa-rupa dan mehong, konsumsi jamu/ tradisional sampai bekam.

Di minggu ke-3 radang, di saat obat dokter sudah satu minggu habis, saya pergi ke tempat bekam (2 Juli 2018) atas saran dari teman. Terapisnya membekam di sekitar titik-titik pita suara, di area leher depan dan belakang. Sakit bro, tapi lebih sakit lagi saat kamu boongin akuh. 

Empat hari setelah bekam terlihat ada kemajuan. Paling tidak, tak separah sebelumnya. Namun saya tetap puasa ngomong karena radang suara belum pulih benar.


 

Selain bekam, saya juga rajin mengkonsumsi madu, jamu kunyit asem, dan mengkonsumsi air hangat setiap kali minum. Minum air hangat baik untuk pemulihan tenggorokan dan radang, dan ini adalah anjuran dari dokter dan juga terapis bekam. Ya, saya ikutin dong. Kan mau cepet sembuh. Eh, saya juga menghindari makan yang pedes-pedes, yang dingin-dingin dan gorengan, bisa kumat lagi, selain juga bikin batuk.

Selisih delapan hari dari bekam pertama, saya bekam lagi untuk kedua kalinya (10 Juli 2018).

Seminggu setelah bekam kedua (sekitar 16 Juli 2018), akhirnya beb... suara saya sudah muncul dengan volume besar/ normal namun masih serak. Oh, teringat saat radangnya masih parah dulu,  walau bisa ngomong tapi volume suara yang dihasilkan kecil gak bisa besar. Mau dipaksain gede pun, gak akan bisa. Pita suara yang radang seperti ‘memblok’ suara. 

23 Juli 2018, saya sudah bicara ‘beneran’. 





Untuk menyempurnakan kesembuhan, walau sudah bisa bersuara normal, saya tetap bekam ke tempat yang sama. Bekam yang ke-3 kali ini mengakhiri ‘ritual’ pengobatan radang pita suara saya. Alhamdullilah.

Kalau ditanya apakah saya sembuh karena bekam? Atau memang sudah saatnya saya sembuh? Ya, bisa jadi faktor keduanya.

Namuuunn, pasca suara sudah pulih, ada yang tersisa beb. Saya merasa pita suara saya ‘lecet” akibat radang tersebut. Saat bicara dengan nada kencang misalnya (bukan karena lagi marah ya) seraknya keluar. Dan saat ngomong terlalu banyak, suara terasa mandek atau capek. Ini tak pernah terjadi sebelumnya.  Selain itu, saat bangun tidur seraknya juga lebih parah, daripada sebelum saya menderita radang.

Yah, begitulah.

Tapi saya bersyukur sekarang sudah bisa ngobrol lagi sama keluarga dan teman-teman. Semoga Anda tak mengalami apa yang saya alami, gak enak beb. Menjaga makanan dan minuman yang kita konsumsi memang penting. Karena kesalahan itu, saya mengalami ini...oh....




Oh, Pita Suaraku


Saat ini suara saya hilang. Kalau pun keluar, parau terdengar.

Itu karena saya mengalami radang pita suara. Hikss..  Jangan ditanya sediihnyaaaa....

Meski tak perih, tapi sedihnya sampai ke ulu hati, untunglah masih bisa curhat lewat tulisan.... Eaaa.... 







Ya emang begitu. Hanya gara-gara menenggak sebotol minuman kemasan teh bersoda yang rada sedikit dingin, maka merusak aset berhargaku hingga saat ini. Sudah 3 minggu sis bro. Ya Alloh. Daku kalau ngomong sama teman meski pakai kertas atau ngomong berbisik-bisik.


'Kamu menderita laringitis akut. Untung gak bengkak (tenggorokan), kalau bengkak, itu akan berpengaruh pada pernafasan” ujar Dokter THT yang praktik di salah satu rumah sakit yang ada di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Ini adalah dokter pertama yang saya datangi, saat baru dua hari suara hilang.

'Gak boleh ngomong dong seminggu ya,” ujarnya lagi.

Ketika dokter bilang begitu, saya kira itu hanya saran dia agar saya istirahat ngomong saja. Tak mengira bahwa beneran saya gak bisa ngomong hingga berminggu lamanya.

Saya kira pula, dengan meminum obat yang diresepkannya, radang pita suara akan pulih dalam beberapa hari saja, dan saya pun bisa ngomong normal dan manja lagi. Ternyata, ini tak main-main sodara-sodara.

Lebih ngenes lagi, suara hilang jelang dua hari lebaran. Oh... Kebayangkan, di saat lebaran, rencananya mau cerita-cerita sama saudara atau bercanda sama ponakan, ealah, saya malah kudu ngerem suara. Saya gak bisa bercengkrama banyak, gak bisa ngomelin dan becandaan sama  ponakan, dan lain-lain. Hhhhh...



Seminggu berlalu. Tak juga keluar suara ini. Panik mulai menyerang. Mengingat beberapa hari lagi masa cuti lebaran saya habis, kudu masuk kerja. Gak lucu dong, kerja gak bisa ngomong sama rekan-rekan di kantor. Di situ kadang saya merasa gak syantik.

Saya ke dokter THT lagi. Kali ini dokter yang ada di kampung halaman saya. Karena saya tengah berada di kampung, untuk berlebaran.

Dokter yang kedua ini mengatakan, saya tak boleh berbicara selama dua minggu. WHAT? Lebih lama lagi anjurannya dari dokter yang pertama, yang cuma bilang seminggu.

“Gak boleh ngomong, bukan hanya untuk pemulihan, tapi juga terapi. Kalau dipaksakan ngomong, pita suara akan menebal. Sembuh sih sembuh, tapi suara kamu akan jadi seperti Renny Djayusman atau Ikang fauzi. Mau kamu?“ jelas Dokter THT yang kedua.  

Saya turutin saran pak dokter. Lagipula, meski bersuara atau bicara akan menyusahkan saya dan menyusahkan yang mendengar, hahahha. Wong suara parau ala-ala yang keluar, terputus putus pula. Hmmmm....

By the way, apakah gak boleh ngomong atau puasa bicara jaminan akan sembuh? Entahlah? Sudah tiga minggu ini, radang pita suara belum nampak membaik. Padahal sudah diberi obat yang mahal, ngomong hanya yang penting-penting saja.

Tersiksa rasanya sodara-sodara.

Waktu lagi meeting di kantor, misalnya, saya gak bisa menjelaskan tentang sesuatu hal yang harusnya saya jelaskan karena berkaitan dengan tugas saya. Atau, ada omongan teman yang pengen saya sela, karena merasa gak cocok atau ingin diluruskan, tapi gak bisa. Ya Tuhan. Jadwal konser 3 negara pun harus dibatalkan, hahahha

Hanya dengan Babang ojek online saya ngomong. Ya mau gak mau. Karena abang ojeknya kan tanya sesuatu, gak mungkin saya jawab pake bahasa isyarat. Belum lagi kalau dia nelpon, kan kudu dijawab. Kan dia juga gak tahu kalau saya gak boleh ngomong. Kalau mau dijelasin tentang kondisi saya, itu malah bikin saya susah sendiri, hehehe.

Kini, ketika obat dokter telah habis, sengaja diri ini tak ke dokter lagi, karena saya tahu, kalau saya konsul,  ujung-ujungnya disarankan gak boleh ngomong. Obat, tak terlalu membantu.

Browsing sana sini soal radang pita suara pun saya lakukan. Penyanyi Adele dan Megnan Trainor rupanya pernah mengalaminya. Ternyata memang lama penyembuhannya karena ini menyangkut pita suara. Ada yang 3 minggu, 6 minggu, ada pula yang 3 bulan baru sembuh. Duh!  

Beda kalau radang tenggorakan doang, cepet sembuhnya. Saya pernah mengalami radang tenggorakan dan suara pun jadi parau persis sama seperti yang saya alami saat ini. Tapi, cuma 3-4 hari saja, sembuh sendiri. Cuma butuh istirahat saja.

Nah, radang pita suara tentu lebih serius dan berbahaya. Bagi yang gak ngerti dengan kondisi saya, seperti si ibu penjual nasi uduk atau si mbak toko kelontong yang saya beli dagangannya, akan bilang “minum air asem, minum jeruk nipis sama kecap manis, minum obat ini dan itu....”

Tak semudah itu, beb. 

Kalau batuk dan radang tenggorakan, iya, itu tentu bisa. Ini beda. Saya sudah minum obat dari dokter yang harganya mahal tak jua sembuh, apalagi obat biasa.

Untuk obat herbal, saya hanya mengkonsumsi madu dan air perasan lemon. Sampe saya borong dua botol madu sekaligus. Itu juga, sampai saat ini tak membantu. Meski begitu, saya tetap berharap dan sabar, mengingat manfaat madu yang luar biasa. Walau saat ini madu belum menyembuhkan radang pita suara saya, paling tidak, madu berguna untuk kesehatan lainnya.

Hari ini, seorang teman mengirimkan pesan kepada saya melalui WA, menawarkan pengobatan alternatif. BEKAM! Yes,  tawaran yang tak terpikirkan oleh saya. Akan saya coba, namanya juga usaha. Alamat dan kontak personnya saya sudah ada pada saya. Sore ini akan saya kunjungi. Doakan, semoga ada kemajuan.

Kisah BEKAM dan akhirnya saya sembuh, saya tuangkan di sini.


 

Jalan-Jalan ke Museum MACAN


Hai-hai, suka jelong-jelong ke museum gak? Suka Seni Rupa jugakah kamyuh? Nah, kalau suka dua-duanya, cocok bingit deh kalau main ke Museum MACAN. 

MACAN, Bukan singkatan dari MAnja dan CANtik ya bro (Itu sih akoh :D).

Bukan pula isinya macan semua, Hahahha. Kalau mas bro dan mbak sis mengira isinya macan, toss dululah sama dakuh. Karena, pertama kali mendengar nama Museum Macan, saya pikir bakal melihat macan-macan dari zaman nenek moyang yang diawetkan. Atau paling gak melihat kulit-kulit macan yang dibentangkan dan ditempel di dinding dengan manja, gitu, hehehe.


 Tapi, MACAN adalah singkatan: 
Modern And Contemporary Art in Nusantara


Saya main ke sana bersama rombongan beberapa waktu lalu, karena ada suatu acara. Saat rombongan kami memasuki area museum, Communication Officer Museum MACAN, Nina Hidayat langsung mengarahkan kami dengan satu lukisan yang menggambarkan sosok pria muda dengan pakaian ala-ala bangsawan jadul.

Communication Officer Museum MACAN, Nina Hidayat

Kata Nina, lukisan itu potret diri Raden Saleh. Pernah mendengar nama ini? Beliau adalah pelukis Indonesia yang mempionirkan seni modern Indonesia. Dan doi sendiri yang melukis dirinya, atau istilahnya my art. 

 “Selama ini ada beberapa lukisan atau nama seniman yang kita cuma tahu atau dengar dari buku sejarah, misalnya Raden Saleh. Nah, di museum ini bisa langsung melihat wajah Raden Saleh,” kata Nina.

Lukisan Raden Saleh
Nina saat menjelaskan soal lukisan Raden Saleh
Pengunjung


Ada sekitar 9 karya seni rupa modern Indonesia dan juga dari seluruh dunia yang dipajangkan di museum ini lho.

Masuk lebih ke dalam lagi, saya melihat ada ragam lukisan seni kontemporer dan modern dipajangkan di sana. Gedungnya luas, lukisan dan instalasi tertata rapi. Ada yang dilukis di atas canvas, ada pula di atas kertas. Dan kertas tersebut sudah usang dimakan waktu, terlihat ada beberapa bagian kertas yang sudah robek. 


Lukisan di atas kertas

Museum MACAN adalah museum pertama di Indonesia yang punya koleksi seni modern dan kontemporer berstandar internasional. Bisa dibilang, museum ini surganya kamu #eh surganya seni rupa. Ada 90 karya dari 70 seniman berbagai negara.

Museum ini dibuka sejak November 2017. Gak cuma majangin lukisan lho, tapi juga menampilkan gaya kontemporer patung dan seni instalasi.



Oom security yang menjaga tempat ini, sempat bilang, kalau total nilai lukisan yang ada didalamnya, berkisar Rp 7 Trilliun.

Wajarlah ya, karena museum ini berstandar internasional. Tempatnya luas, elit, bangunannya juga keren, begitupun dengan interiornya. 




Museum yang berlokasi di Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini, bisa banget lho jadi alternatif sarana edukasi buat anak sekolah, seniman muda, dan para penikmat seni. Anda Mau ke sini? Tiket masuknya Rp 50 ribu dari Selasa hingga Minggu. Berhubung waktu itu saya ke sana karena diundang untuk sebuah acara, jadi gratis dong masuknya, hehehe (gak ada yang nanya).

Yang belum sempat main ke Museum Macan, bolehlah nikmati dulu gambar-gambar yang ada di blog ini :))


Sarongge dan Saung Sarongge yang Ngangenin



Datang lagi ke Sarongge, Sabtu tadi. Cuaca alamnya masih sama seperti dua tahun lalu. Dingiiiin. Kalau gak pakai jaket bisa menggigil syantik. Kebun-kebun beraneka sayur masih memanjakan mata, menyambut setiap tamu yang datang ke sini. Kebun tehnya juga masih terhampar menggemaskan. Jalan yang menanjak lalu menukik tajam menjadi ciri khasnya. Maklumlah ini daerah pegunungan jadi kontur jalanannya ya memang begitu.

Pertama kali singgah di kawasan yang ada di Cianjur ini sekitar 8 tahun lalu  dengan teman-teman kantor, ya acara kantor, holiday gitu ceritanya, sekalian mengakrabkan diri satu sama lain. Siapa tahu di kantor jarang bersua bareng, sibuk ngopi sendiri, eaaaa....

Kedua kali ke sini, masih dengan teman kantor, dibiayai kantor, sekitar dua tahun lalu. Kali ketiga pun, tetap dengan teman-teman kantor di kantor yang sama.  

Nah, kali ini kami holiday mandiri, jadi pakai dana pribadi dan personilnya banyak yang baru. Kami sengaja meluangkan waktu untuk menikmati alam indah nan sejuk, karena bertahun-tahun ‘terkungkung’ di hutan beton Jakarta dan menghisap debu-debu jahat yang ngaruh banget buat kesehatan.  


Kolam depan saung
Ada Saung Sarongge, yang menjadi tempat persinggahan kami. Besar lho saungnya dan posisinya persis berhadapan dengan lekukan Gunung Geulis, hamparan kebun dan suasana perkampungan. Jadi asupan gizi indah bagi mata ini. Melihat anak-anak bermain di kolam kecil yang ada di depan saung pun, jadi pemandangan langka. Maka itu mas bro, duduk di teras saung sambil menyeruput kopi atau teh panas, wajib dilakukan sebelum berleha-leha masuk saung. 


Nyantai dulu bro :)))
Mau merenung juga boleh :D
Andai tak ada saung ini, gak tahu tuh ya kita bakal nginep di mana. Ada sih beberapa homestay dan tempat penginapan yang bagus, dari beton pula. Area camping ground juga ada, tapi rasanya gak seenak dan senyaman kalau berada di saung, hehehhe. Kamar mandinya juga bagus dan luas, lega deh. Gak sempit kayak di hotel bintang-bintang manja. 

Suasana Saung Sarongge


Kamarnya banyak, ada sekitar 10 kamar kali ya dengan beraneka ukuran dipan/ tempat tidur. Satu kamar ada yang berisi 3 dipan ukuran satu orang. Kamar lain, ada yang ukuran dipan untuk dua orang dan satu orang, macam-macam deh, tergantung selera dan kebutuhan. Kamarnya juga sudah dilengkapi dengan selimut dan bantal. Bersih lho kamarnya, seprei dan selimut pun wangi, karena diurus.

Ibu-ibu setempat yang mengurus dan mengelola saung ini, termasuk mengurus setiap tamu yang berwisata di tempat ini. Mereka memasakkan kami makanan, minuman, dan mengurus ini dan itu jika kami ada keperluan. Saat kami baru tiba saja, mereka sudah menyediakan teh hangat dan makanan beserta lauk pauknya. Sambalnya yang maknyus dan hidangan lalapan, selalu ada di sini. 


Nah, ini trio ibu yang mengurusi kami, Ibu Wiwik, dkk.
Sekitar 3 jam berada di saung, kami jalan-jalan menuju pabrik kopi “Negri Kopi”, milik Pak Santoso, teman kantor kami. Kopi yang dihasilkan tentu saja ya kopi Sarongge yang kebunnya diolah oleh warga setempat, diproduksi juga di sana. 

Ngobrol dulu dikit sebelum jalan-jalan
Nah, saat menuju ke tempat ini, jalannya menukik, jadi gak ngebebanin badan saya yang bongsor dan seksi ini. Makanya rada sombong pas jalan nurun. Lah, pas pulang, ealalalah, ya kudu nanjak. Eikeh ngos ngosan, capek bingit. Keringat mengucur deras. Biar kata bisa dibilang olahraga, kok daku gak menikmati ya, saking tajamnya tanjakan, hohoho. Tapi ya sudahlah, kapan lagi biasa jalan-jalan kayak gini kalau bukan lagi di daerah Sarongge. Bisa menikmati kebun teh, foto-foto di kebun teh, melihat kebun kol dan daun bawang dari jarak dekat, dll.  

Kebun teh menuju pabrik kopi
Nah, ini gerbangnya pabrik kopi, masuk lagi ke dalam lho..

Oh ya, Pak Santoso inilah yang mengenalkan kami pada Sarongge, sekitar 10 tahun lalu. Beliau ini pegiat lingkungan dan beberapa kali mengajak kami menikmati alam. Pertama kali datang ke sini, kami menginap di area camping ground, di kaki Gunung Gede Pangrango, sekaligus kami adopsi/ tanam pohon di sana. Jangan tanya jalan menanjaknya kayak apa, dobel-dobel capeks. Tapi ya gitulah, ketika sampai di atas, asik. Akrab dengan alam. Kanan kiri hutan/ pepohonan. Tapi, kali ini saya tak ke camping ground, sampai di saungnya saja. Sudah cukup senang kembali bertemu dengan alamnya yang ngangenin. 

Ngobrol di teras pabrik

Pulang dari pabrik, foto-foto manja di tengah kabut
Malam harinya di saung, beberapa teman ada yang ngobrol di teras saung, ditemani angin malam. Kalau daku mah, gak kuat euy, dingin bingit soalnya, jadi ngendon doang dalam kamar/ saung, sambil ngobrol dengan sesama teman yang berada dalam saung juga, hahahha. 

Meski tempat ini begitu dingin, namun udara dan keasrian alamnya menjadi penyeimbang hawa itu. Saat terbangun di pagi hari, misalnya, membuka jendela kamar, mata langsung disuguhkan dengan  hamparan kebun dan lukisan Gunung Gede Pangrango. Kalau di Jakarta, melek mata, udah dijejali dengan asap knalpot dan brisiknya suara kendaraan lalu lalang. 


Nah, ini pemandangan dari jendela kamar

Cuma dua hari satu malam sih kami menginap di sini. Sabtu pagi berangkat, Minggu pagi sudah cabut aja ke Jakarta lagi, karena ada beberapa teman yang masuk kerja jam satu siang. Jadi kudu ngejer pulang pagi. 


Yach, walau jalan-jalannya cuma sebentar, tapi moment menikmati alam dan kebersamaan sama temen-temen kantor, plus “lari” sejenak dari riwehnya ibukota, itu yang paling penting. Menggembirakan jiwa. Yaelah bahasanya. Yang penting happy, gitu deh ya kira-kira, hihihihi.

Nah, sebelum pulang, harus dong ya menikmati sunrise dan foto-foto syantiks. Sampai jumpa lagi Sarongge. 


Foto foto dulu dong ah di saung,  sebelum pulang
Ini fotonya sebelum matahari terbit,
Bye-bye Sarongge

Drama Sendok

Di kantor saya lagi heboh perkara sendok. Iya, sendok! Jumlahnya lusinan, hampir  menyamai jumlah karyawan kantor. Tapi, sudah satu bulan ini, si sendok telihat semakin sedikit. Satu persatu hilang entah ke mana. Hingga tersisa dua atau tiga. 




Hilangnya benda ini bikin karyawan kelimpungan, karena fungsinya yang sangat berguna. Untuk makan, menyeduh kopi, membelah cake, dan lain-lain. Kondisi ini membuat teman-teman kantor terpaksa harus bergantian memakai sendok. Siapa cepat, ia dapat, terutama saat jam makan siang. Karena hal ini, sebagian teman ada yang membawa dari rumah dan menyimpannya sendiri, daripada mesti antri pakai sendok.

Berbulan-bulan, misteri lenyapnya sendok belum terjawab. Ada yang menduga hilang tak sengaja, terbuang saat membuang bekas nasi bungkus, atau terbawa tukang bakso saat ia mengambil mangkuk kosong yang sebelumnya dipesan karyawan. Atau… dicolong jin? Hahahha.

Raibnya lusinan sendok ini, terdengar hingga ke pihak bagian umum yang mengurusi soal ini. Mereka pun akhirnya memutuskan agar setiap karyawan membawa sendok masing-masing. Pengumuman itu disampaikan melalui email, per hari di mana sendok tinggal 3 tungkai doang.

“Sisa sendok yang ada di kantor saat ini hanya dikhususkan untuk tamu.” begitu penggalan surat elektronik itu. Semua karyawan “gaduh” setelah membacanya. Tak semua sepakat dengan ide ini. Karena, kehadiran sendok sangat penting dalam urusan sehari-hari termasuk di kantor. Sangat merepotkan jika harus membawa sendiri sendok dari rumah. Dan gak jaminan juga kalau tak bakal hilang. Betul gak sodara-sodari?

Tak tahan dengan hal ini, salah satu karyawan bagian keuangan, Novi, akhirnya membeli sendok satu lusin untuk kantor dengan kocek pribadinya. Di wadah sendok, ia tempelkan kertas dan dituliskan “Sendok Karyawan”. Entah ini sebagai bentuk protes atau kekesalan karena disuruh bawa sendiri sendok masing-masing.
 
Hilangnya sendok dan email dari bagian umum terkati hal ini, jadi obrolan satu kantor. Saat jam makan siang di pantry, beberapa karyawan pun ngerumpiin sendok dengan ceritanya masing-masing.

“Kalau di kantor suami saya, sendok memang harus bawa masing-masing, berikut wadah makanannya. Memang gak disediain sendok di kantornya,” cerita mbak Niti, salah satu tim sales.

Sekretaris Direksi, Lili, bercerita saat acara kumpul keluarga, setiap kali mencuci piring, jumlah sendok selalu dihitung oleh ibunya. “Jika ada yang hilang, Ibu saya akan teriak, ini kok jumlah sendoknya kurang. Setelah dicari, eh, gak tahunya sendoknya ada di bawah kursi atau nyelip di bawah tikar,” kata Lili tertawa.

Sementara, karyawan lain, Wydia, nyeletuk “Betul, jangankan di kantor yang ramai orangnya, di rumah tangga saja sendok sering hilang. Jadi maklum saja kalau sendok di kantor lama-kelamaan tinggal sedikit,” ujarnya sambil menyantap makan siang.


Gak ada sendok= repot

Perbincangan sendok, tak terhenti di area kantor saja. Di grup WA yang beranggotakan karyawan kantor pun, masih lanjut ngobrolin sendok saat jam kerja usai. Ada yang dibawa ke humor, ada yang kesal kebijakan bagian umum, ada yang nyinyir dan sebagainya.

Hmmm, soal sendok yang lenyap entah kemana ini, saya pun mengalaminya sendiri. 10 tahun menjadi anak kos, sudah 3 lusin saya membeli sendok, yang tersisa kini hanya 5 saja. Entah kemana lusinan lainnya. Pernah, terlihat salah satu teman kos, Wina, mengambil sendok kotor saya yang ada di wastafel. Ia cuci, lantas digunakan. Ya maklum, mungkin ia juga tak ada sendok. Namun, setelah itu ia tak mengembalikannya lagi kepada saya. Lalu wassalam.

Ada pula teman kos lain yang lain, Susi, saat ia mencuci piring, sendok-sendok anak kos yang kotor ia cuci semua. Lalu, semuanya ia taruh di kamarnya. Jadi anak kos lain pada hilang sendok,  mereka gak tahu, kalau sendok-sendoknya ditaruh di kamar Susi. Walau tak bermaksud mencuri, seharusnya, Susi mengambil sendok yang hanya miliknya saja. Toh, ia bisa menghitung berapa sendok yang ia punya.

Ulah Susi ketahuan saat ada teman kos, Ijah, yang main ke kamarnya dan melihat banyak sendok nangkring. “Pantesan sendok gue selama ini hilang. Rupanya ada di kamar Susi semua. Kan gue tahu kalau itu sendok gue atau bukan” ujar Ijah bercerita kepada saya sambil menggerutu.

Ah, pantesan ada ungkapan guyonan yang sering muncul “Eh, kamu minggat dari rumah, gak bawa sendok, kan? Ntar ibumu repot nyari sendoknya lho,” hehehe. Ternyata, guyonan ini benar adanya, sendok hilang, bikin pusing orang.